Disambut Hangat oleh Alam di Wotgalih

10:25 Ilham Firdaus 0 Comments

rawa pantai wotgalih

Pantai Wotgalih di Lumajang mungkin tidak setenar Pantai Papuma di Jember, Pantai Pulau Merah di Banyuwangi ataupun Pantai 3 Warna di Malang. Karena hal itu Pantai Wotgalih nggak ramai pengunjung, kecuali saat hari libur. Yang unik, Pantai Wotgalih (juga pantai-pantai di Lumajang) berpasir hitam atau pasir besi. Disebut begitu karena pasirnya memang berkadar besi. Pasir-pasir itu berasal dari Gunung Bromo dan Semeru yang terbawa aliran lava atau sungai. Begitu info yang saya dapat dari internet.

Perjalanan ini saya lakukan bersama Cahyadi dalam long trip kami. Sebelumnya kami dari Coban Sewu, lalu langsung menuju Pantai Wotgalih yang berada di Kecamatan Yosowilangun, Lumajang. Nggak tahu tuh dimana. Saya sama Cahyadi yang orang Jawa Barat, mana pernah berpergian ke daerah Jawa Timur sebelumnya. Jadi kami hanya bermodalkan google maps.

Awalnya perjalanan kami lancar-lancar saja dengan mengikuti petunjuk google maps. Namun, google maps menjadi tidak berguna ketika kami blusukan ke daerah pesisir. Dari pada malu bertanya sesat di jalan, entah berapa kali kami bertanya pada warga arah ke Pantai Wotgalih. Tiap kali bertanya ke orang yang berbeda, kami mendapat perlakuan yang berbeda pula.

Yang pertama terjadi setelah kami melaksanakan shalat Ashar di masjid. Ini kali pertama kami kehilangan arah, di situ ada pertigaan. Awalnya kami akan mengikuti petunjuk pada plang yang mengarah ke Lumajang. Tapi dari pada salah, saya bertanya ke empunya warung sembako di seberang masjid.

 “Maaf Bu, kalau ke Pantai Wotgalih ke arah mana ya?”, tanya saya sambil membeli tambahan perbekalan.

“Pantai Wotgalih lurus aja kesana Mas, tapi masih jauh”, ibu sembako menunjuk arah yang berlawanan dengan arah Lumajang yang terpampang di plang.

“Emang Masnya darimana?”, ibu itu balik bertanya.

“Saya dari Jawa Barat Bu, cuma sekarang lagi kuliah di Malang”, jawab saya.

“Oalah. Jauh sekali mainnya. Kenapa nggak di Malang aja? Balekambang atau apa itu namanya”. Wah ibu ini tahu Balekambang juga, suka jalan-jalan kayaknya.

“Enggak Bu. Soalnya kami mau ke Jember, tapi mampir dulu di Pantai Wotgalih”.

Setelah itu dia menjelaskan lagi arah ke Yosowilangun secara detail. Tapi karena daya ingat saya yang lemah, saya nggak ingat sedikit pun kecuali “lurus aja kesana”. Heuheu..

Selagi memasukkan perbekalan ke dalam carier, ibu sembako tadi keluar dari rumahnya sambil membawakan segelas teh hangat. Tapi tawarannya terpaksa kami tolak. Karena hari sudah sore, kami takut kemalaman di jalan. Kalau kami terima tawarannya, kami harus duduk-duduk dulu dan ngobrol tentunya. Maaf ibu sembako yang baik hati, saya jadi nggak enak.

Kemudian kami juga sempat bertanya pada nenek-nenek lanjut usia yang sedang menyapu halamannya. Saat itu Cahyadi yang bertanya menggunakan Bahasa Indonesia. Tapi nenek itu menjawab menggunakan Basa Jawa, kami berdua melongo. Sebenernya saya paham Basa Jawa. Masalahnya nenek itu ngomong pake Basa Jawa Krama. Sedangkan yang saya paham cuma Basa Jawa yang sering saya denger dari temen-temen di kampus, apalagi kalau bukan kata-kata yang aneh.

Melihat kami melongo, nenek itu kembali ngomong pake Basa Jawa tapi tangannya sambil menunjuk-nunjuk ke arah jalan. Oh iya Nek, kami paham. Nuwun sewu, Nek. Nenek itu paham apa yang ditanya Cahyadi, tapi mungkin dia nggak bisa menjawab dengan Bahasa Indonesia. Kata temen saya, di Jawa orang-orang yang udah lanjut usia emang kadang ada yang nggak bisa ngomong Bahasa Indonesia, tapi dia paham apa yang dia denger.

Selain bertemu ibu sembako dan nenek berbahasa Jawa Kromo, selebihnya kami bertanya pada bapak-bapak dan anak muda. Tentu kami nggak mengalami kejadian seperti di tawari teh hangat ataupun diajak ngomong Basa Jawa Krama.

Pada akhirnya, kami sampai di kawasan Pantai Wotgalih sekitar jam 5 sore, tepatnya di lokasi parkir kendaraan. Ketika kami sudah sampai di ujung jalan, di sana ada banyak orang. Saat saya mendekat, salah seorang dari mereka bertanya.

“Mau kemana Mas?”.

“Ke Pantai Wotgalih Pak, bener disini?”, jawab saya.

“Iya bener, tapi sekarang lagi ditutup. Jembatannya lagi direnovasi, jadi nggak bisa lewat”. Saya tersentak, gimana nasib kami.

“Renovasinya masih lama Pak?”. Ucap saya memecah keheningan, karena saya sebelumnya melongo mendengar jawaban Bapak itu.

“Masih Mas, baru mulai sekitar semingguan. Masih 2-3 bulan lagi”.

Mampus masih lama banget, nggak mungkin juga kami menunggu selama itu cuma untuk ke pantainya. Saya pun mengucap terima kasih lalu mendiskusikannya dengan Cahyadi.

Selagi diskusi, ada seseorang yang menghampiri kami. Kali ini mas-mas berumur sekitar 20an akhir. Dia bercerita kalau dia sedang mengantar tamunya dari Surabaya. Lalu dia menawarkan solusi pada kami untuk lanjut saja ke Papuma, karena disana buka terus sampai malam. Selain itu disana juga ramai. 

pasir besi pantai wotgalih
Pasir besi di tempat parkir

Dia tahu aja kalau kami kebingungan. Kami sempat memikirkan opsi itu. Papuma emang tujuan kami, tapi Lumajang – Jember berapa jam? Mana nggak tahu jalan, udah malam pula. Selain karena hal-hal itu, kondisi kami juga udah lelah setelah perjalanan dari Malang hingga ke Wotgalih.

Setelah mendiskusikannya lumayan lama, akhirnya kami memutuskan untuk bermalam dan mendirikan tenda di lahan parkir Pantai Wotgalih. Suasana saat itu sudah sepi, warga dan wisatawan dari Surabaya juga udah pulang. Tapi masih tersisa satu orang warga, bapak-bapak. Kami bertanya apakah boleh bermalam disana. Dia menjawab silahkan saja, lalu menambahkan kalau disitu saat malam kondisinya tetap aman meskipun sepi.

Kemudian kami mendirikan tenda. Suasananya sepi nan menentramkan. Selain kami, hanya terdengar suara debuaran ombak dan suara hewan seperti siulan burung bersautan, katak, jangkrik dan cicak. Aah, suara alam itu menentramkan jiwa banget deh. Lalu saat masih mendirikan tenda, ada sekawanan entok yang terbang membuat sore itu semakin menarik bagi kami.

camping di pantai wotgalih
Tenda pinjaman

Ketika langit sudah gelap, aktivitas kami tinggal istirahat. Yaitu masak, makan dan molooor.

Sekitar jam 3 dini hari, saya kebelet kencing. Saya pun keluar tenda dan mencari lahan. Selagi kencing, saya menengadah ke langit. Saya terpukau bukan main, ribuan bintang bertaburan di langit Wotgalih malam itu. Plus bonus dengan munculnya Bintang Fajar alias Planet Venus. Bersih tanpa ada awan ataupun polusi cahaya yang menghalangi. Rembulan juga sudah tidak nampak. Setelah panggilan alam selesai, saya buru-buru balik ke tenda dan mengambil kamera untuk mengambil gambar.

Cahyadi yang sedang tidur sampai terbangun akibat saya krasak-krusuk. Saya yang nggak terbiasa megang DSLR, nyoba buat otak-atik settingan kamera supaya bisa dapat hasil yang bagus. Baik saya maupun Cahyadi nggak begitu paham soal fotografi, apalagi motret malam berbintang. Tapi saya pernah baca artikel tentang tips tentang astrofotografi, gimana cara untuk setting kameranya. Dan hasilnya lumayanlah untuk seorang fotografer amatiran. Hehe!

malam berbintang di wotgalih
Taburan bintang di langit

venus di wotgalih
Bintang Fajar alias Venus (warna kuning paling terang)

hotel seribu bintang di wotgalih
Eksis dulu

Nggak lama kami foto-foto, karena baterai kamera tiba-tiba udah merah aja alias lowbat. Sebelum kembali tidur, saya memandang ke arah langit beberapa saat. Mengagumi karya Tuhan yang luar biasa indah. Saya bersyukur bisa melihat keindahan langit yang penuh bintang malam itu. Hal yang tentu sulit ditemukan kalau berada di kota.

2 jam kemudian saya bangun. Ketika mengintip keluar tenda, saya disuguhkan dengan cantiknya matahari terbit pagi itu. Luar biasa. Saya tak henti dibuat takjub.

sunrise di wotgalih
Sunrise!

ngopi di wotgalih
Awali pagi dengan ngopi

Memang benar saya agak kecewa begitu tahu kalau Pantai Wotgalih saat itu. Untungnya kami memutuskan untuk bermalam disitu. Kalau nggak, kami nggak bakal menemukan alam yang sangat bersahabat saat itu. Meskipun cuma camp di tempat parkir (bukan di pinggir pantai), tapi yang didapat setimpal dengan perjuangan kami mencari Wotgalih.


Jam ½ 7 pagi, kami melanjutkan perjalanan menuju Jember.

0 comments: