Mendaki Rinjani #3: Sebuah Perjuangan Mewujudkan Impian

19:18 Ilham Firdaus 0 Comments

Kami udah berjuang sekuat tenaga mendaki sampai Plawangan Sembalun. Perjalanan nggak mudah, nyaris 12 jam kami mendaki. Akhirnya kami bisa lakuin hal yang udah dibayangkan selagi di perjalanan. Ya, molooor. Merem sekali aja langsung pergi dari dunia nyata. Saking lelahnya.

Malam itu saya tidur dibalik SB (bukan Sleeping Bag, tapi Sarung Bro), mengenakan kupluk, kaos kaki, sarung tangan, selapis celana dan 3 lapis baju. Pertama, kaos lengan pendek yang saya pakai selama perjalanan. Lapis kedua, saya pakai kaos berlengan panjang. Dan yang terakhir saya kenakan adalah kemeja. Saya nggak pakai jaket. Bukan karena ketinggalan tapi emang sengaja nggak saya pakai, soalnya saya rasa segitu cukup untuk nahan dinginnya malam Plawangan Sembalun di ketinggian 2900mdpl.

Saya bisa begitu berkat aklimatisasi yang saya lakuin sejak pertama kali berangkat dari Malang. Saya cuma kaosan lengan pendek meskipun sedang perjalanan malam, termasuk saat mendaki malam-malam di bukit penyesalan. Nggak pernah sekalipun saya pakai jaket ataupun rangkap baju lain. Itu artinya, aklimatisasi saya berhasil. Yeay!

Jam 3 pagi saya bangun gara-gara bunyi alarm hp saya yang berisik banget. Tapi langsung saya matikan. Males banget mau bangun, mana dinginnya jadi tambah parah. Saya langsung nyari jaket sebelum membeku. Kondisi begitu jadi malas untuk bangun, sebaliknya, malah jadi nyaman untuk tidur. Beberapa saat setelah matiin alarm. Saya bangun, saya lawan rasa malas itu. Daripada menyesal dikemudian hari gagal muncak karena keenakan tidur. Kan konyol. Mana udah jauh-jauh ke Lombok. Nggak masalah sih, yang jadi masalah itu perkara ongkos. Ehm, mahasiswa.

Lalu saya bangunin yang lain yang masih pada bobo cantik. Baru setelah itu kami siap-siap summit attack. Kami masukan semua barang ke dalam tenda, termasuk alat masak dan makan yang masih kotor. Soalnya saya dengar-dengar dari pendaki lain, di Plawangan Sembalun suka ada kera yang ngerusuh. Kera-kera itu nyari makanan, bahkan ada kejadian sampai masuk ke dalam tenda. Dang, kondisikan saudaramu!

Persediaan air kami menipis, tinggal sisa semalam. Tersisa 1 botol ukuran 1.5L dan beberapa botol ukuran di bawah 1L. Selain itu kami bawa makanan ringan seperti roti dan biskuit. Setelah persiapan selesai, kami berdo’a dulu sebelum mulai summit attack.

Kami termasuk pendaki yang summitnya telat, selain pendaki tetangga tenda kami yang masih siap-siap saat kami berangkat. Soalnya udah banyak pendaki yang berangkat duluan, kelihatan dari cahaya senternya yang udah jauh di atas. Yang udah sampai puncak juga mungkin ada.

Awal-awal kami melewati trek yang masih landai. Sepanjang jalan itu banyak tenda-tenda yang berdiri di kanan-kirinya. Tapi nggak ada tanda-tanda kehidupan di dalamnya, mereka udah berangkat. Kecuali para porter yang sedang tidur maupun yang lagi menghangatkan diri dekat api.

Setelah itu kami mulai melewati medan yang menanjak, jalannya pun berganti menjadi pasir berbatu. Sekitar 2 jam berlalu matahari terbit dan kami akhirnya sampai di puncak. Awalnya saya kira itu beneran puncak. Taunya puncak bohongan. Karena disitu hawa-hawanya emang udah kayak puncak gitu. Gunung Baru Jari udah kelihatan. Tapi itu ternyata belum setengahnya dari perjalanan ke puncak.
sunrise rinjani
Perjalanan semakin berat saat panas matahari udah mulai meyengat. Panasnya minta ampun. Mana air yang kami bawa udah habis. Langkah semakin melambat, udah lemas banget rasanya. Gara-gara dehidrasi. Saya terpaksa meminta seteguk (tapi banyak) air pada pendaki yang udah turun. Memang sungkan, tapi mau gimana lagi. Untungnya mereka baik hati. Bahkan ada pendaki yang tanpa diminta menawari airnya pada saya. Ya, dia tahu dari muka saya yang melas-melas hampir tumbang.

Selama summit attack, tiap kali berpapasan dengan pendaki yang turun, mereka selalu ngasih semangat. Ini yang saya suka saat digunung, rasa kemanusiaan sangat kuat meskipun nggak saling kenal.

tanjakan gunung rinjani
Tanjakan maut

Akhirnya saat waktu nunjukin jam 11 WITA saya berhasil menginjakkan kaki di Puncak Rinjani! Saya sangat bersyukur, impian saya untuk mendaki Rinjani dapat terwujud. Itu jadi momen bersejarah bagi saya. Nggak bisa diungkapkan oleh kata-kata perasaan saya saat itu. Pemandangan dari puncak benar-benar wonderful. Danau segara anak, gunung baru jari, sampai Gunung Agung yang ada di pulau tetangga alias Bali kelihatan. Saya senang bukan kepalang. Perjuangan saya terbayar sudah!

Saat sampai di puncak, cuma ada saya dan 3 orang pendaki tetangga tenda. Mereka dari Bandung. Mungkin kasihan ngelihat saya yang dari tadi melirik terus air minum mereka, mereka jadi ngasih air setengah botol untuk saya. Alhamdulillah, mereka peka banget. Hatur nuhun, Lur!

Setelah puas di puncak, mereka turun. Sedangkan saya masih nunggu yang lain, karena baru saya yang sampai puncak. Lalu beberapa saat Yogi sampai puncak, dia sempat ketiduran katanya saat di jalan makanya lama. Kemudian di susul Idang yang lari-lari ke puncak setelah saya lambai-lambaikan botol berisi air.

puncak rinjani
Ini saya

puncak rinjani
Ini Idang

puncak rinjani
Ini Yogi

Yeah!!

Sayangnya kami nggak lengkap di puncak, Rahman dan Saifud nggak sampai. Rahman memutuskan berhenti sebelum tanjakan pamungkas dan nunggu disitu. Emang sih tanjakannya tinggal itu doang, tapi masih jauh lagi dari situ. Sedangkan Saifud, dia kembali ke Plawangan Sembalun setelah sampai setengah jalan. Karena kondisi dia yang kurang fit. Nggak apa-apa guys, nanti kita balik lagi!

perjalanan ke puncak
Ini Rahman

perjalanan ke puncak
Ini Saifud

tanjakan pamungkas rinjani
Tanjakan Pamungkas

Saya, Yogi dan Idang agak lama di puncak, menikmati Puncak Rinjani yang sepi. Cuma ada kami bertiga doang, pendaki lain udah pada turun. Di puncak saya nggak ngerasa dingin. Nggak kayak saat di Puncak Semeru yang bawaannya dingin banget. Mungkin karena saat di Semeru saya sampai puncak masih pagi dan angin disana kenceng, makanya dingin. Sedangkan saat sampai puncak Rinjani, saya sampai siang hari dan nggak ada angin. Nggak tau kenapa.

Satu jam kami di puncak. Kemudian kami turun dengan gaya sand skating, seperti saat di Semeru. Kami bertemu Rahman yang lagi asik foto-foto sambil menunggu kami. Lalu kami berempat kembali ke camp. Sudah kodratnya, perjalanan turun jauh lebih cepat dari pada naik. Saat naik saya habiskan waktu sekitar 8 jam. Tapi saat turun? Nggak sampai setengahnya, cuma 2 jam. Sakitnya tuh di kaki, mau lepas.

sand skating rinjani
Sand skating

Ada kejadian konyol saat kami turun dari puncak. Saat mulai memasuki kawasan yang ada pepohonannya, kami bertemu monyet. Banyak. Mereka melototin kami dengan tatapan kelaparan dan wajah yang sangar. Waduh bahaya, masa iya pendakian ini berakhir menjadi santapan kera. Udah punya firasat nggak enak, kami semua kabur. Lari sekuat tenaga. Dan itu sebuah kesalahan, kera-kera itu mengejar kami. Loncat dari pohon ke pohon. Saya jadi ngeri membayangkan salah satu kera itu loncat ke kepala saya, lalu memakan kepala saya.

Setelah lumayan jauh balapan sama monyet, mereka menyerah, mereka nggak ngejar lagi. Syukurlah kami nggak dijadikan makan siang mereka. Pertama kali saya ketemu monyet ngejar-ngejar ganas gitu. Ngeri.

Setelah sampai camp, kami semua tidur saking lelahnya. Mengabaikan rencana awal kami yang sebenarnya akan ke Danau Segara Anak sorenya. Kami putuskan untuk bermalam lagi di Plawangan Sembalun dan nggak turun ke Segara Anak. Sayang memang udah jauh-jauh tapi nggak nyoba mancing di Segara Anak, apalagi disana sumber air panas yang bisa di pakai untuk berendam. Yah, tapi melihat kondisi kami yang udah babak belur dan ada 1 teman kami yang kurang sehat. Lebih baik kami pulang dari pada terjadi hal yang buruk. Mungkin itu juga sebuah pertanda bahwa saya harus kembali ke Rinjani. Ya semoga saja, suatu hari.

Esoknya kami pulang kembali lewat Sembalun. Sempat kebingungan saat turun dari pos 1 ke Sembalun Lawang. Seingat saya sepanjang jalur itu nggak ada hutan, yang ada cuma padang rumput. Tapi kami tiba-tiba memasuki hutan lebat. Setelah bertanya pada porter yang kebetulan turun bareng kami, ternyata kami turun ke jalur Bawak Nao. Kami salah memilih jalan saat ada persimpangan. Tapi lewat situ emang lebih cepat. Kami sampai di Desa Bawak Nao di waktu Maghrib. Lalu kami pulang di jemput lagi sama Mas Setiawan dan langsung tepar saat sampai di rumah Yogi.

sunrise plawangan sembalun
Pagi di Plawangan Sembalun

Setelah melewati panjangnya padang savanna diteriknya matahari, bukit penyesalan yang tak kenal ampun, dan terakhir medan pasir berbatu yang menanjak terus seakan tak ada habisnya. Saya belajar bahwa untuk mewujudkan impian diperlukan sebuah perjuangan yang besar, mental yang kuat, juga tekad pantang menyerah dan disertai do’a agar bisa menggapai mimpi tersebut.

Sebuah perjalanan dari Jawa ke Lombok untuk menggapai sebuah impian, yaitu Rinjani. Rinjani memang cantik. Namun, dibalik keindahannya itu ada sebuah ujian yang harus saya hadapi. Berjuang dengan segala daya dan upaya. Pada akhirnya, perjuangan itu terbayar sudah ketika berhasil menjejakkan kaki di puncak setinggi 3726 mdpl.


Terima Kasih, Rinjani!

0 comments: