Menembus Belantara Menuju Coban Rais

08:29 Ilham Firdaus 0 Comments

coban rais batu

Coban Rais memiliki ketinggian air terjun sekitar 20 m dan merupakan salah satu obyek wisata air terjun di kota Batu. Coban ini berada di ketinggian sekitar 1025 mdpl di lereng Gunung Panderman.  Dulunya coban ini bernama Coban Sabrangan yang berarti jika hendak ke coban ini harus menyebrang 14 sungai.
***
Berawal dari kejenuhan saat minggu tenang sebelum masuk minggu UAS. Saya bersama seorang teman, Cahyadi, berencana untuk Jelajah Coban disekitaran Malang. Ada 4 coban yang akan kami kunjungi dalam 2 hari.

Pada hari pertama kami jadikan Coban Rais sebagai destinasi pertama. Kami pergi menggunakan motor. Acuan yang saya tahu untuk kesana adalah BNS (Batu Night Spectacular), lalu lanjut dengan mengikuti petunjuk hingga menemukan tower pemancar saluran televisi.

Saya memacu motor dari Malang ke BNS. Setelah sampai disana, kami bertanya pada bapak-bapak yang sedang menyapu di tepi jalan. Berkat arahan darinya, kami blusukan masuk ke jalan gang dan berhasil menemukan papan petunjuk arah ke Coban Rais. Lalu kami ikuti terus sampai menemukan tower saluran tv. Dan loket masuk Coban Rais nggak jauh dari situ.

Kemudian kami mengurus tiket masuk seharga 10rb/orang. Suasana di situ nggak ramai, cuma ada beberapa motor wisatawan. Dari tempat parkir ke Coban Rais harus trekking dahulu melewati belantara sekitar 1 jam perjalanan. Tapi dijamin, 1 jam itu nggak bakal kerasa karena sepanjang perjalanan akan disuguhi pemandangan yang indah.

Perjalanan diawali dengan trek yang landai dan vegetasi yang cukup terbuka. Baru beberapa menit berjalan, saya melihat sebuah bukit yang sepertinya menarik. Karena penasaran, kami naik ke bukit itu dulu meskipun arahnya berbeda dengan arah ke air terjun. Keputusan kami nggak salah. Dari atas bukit itu, saya bisa melihat panorama dari ketinggian. Kami berhenti sebentar untk mengabadikan momen.

coban rais batu
Dari atas bukit, eh ada yang lebih tinggi

Setelah dari bukit, kami melanjutkan perjalanan lagi. Medannya lama-kelamaan semakin menanjak, udah kayak naik gunung. Mirip-miriplah sama treknya kalau mau ke Gunung Panderman. Toh, ini juga masih kawasan lerengnya Panderman. Semakin lama kami juga semakin masuk ke dalam hutan. Ditandai dengan pepohonan yang semakin lebat.

coban rais batu
Lebatnya vegetasi hutan

Di tengah perjalanan, kami sempat menemukan hal-hal yang unik. Seperti melewati bebatuan layaknya sungai yang kering. Beberapa kali menyebrangi aliran air sungai. Hingga bertemu sekawanan kupu-kupu yang sedang hinggap di pepohonan dan permukaan tanah. Lalu ketika kami lewat, kupu-kupu yang jumlahnya banyak banget itu berterbangan mengelilingi kami. Keren!

coban rais batu
Melewati aliran sungai kecil

coban rais batu
Aslinya banyak kupu-kupu tapi nggak kefoto

Kami juga sempat menemukan beberapa air mancur. Jangan dibayangkan air mancur beneran. Yang saya maksud ini adalah air yang keluar dari pipa-pipa yang bocor, sehingga airnya memancur keluar. Lalu ketika di sekitar air mancur bohongan itu, saya melihat ada air mancur lagi yang lebih besar di kejauhan. Tapi setelah diperhatikan, air mancur itu arahnya nggak ke atas tapi ke bawah. Ukurannya terlalu besar dan tinggi untuk ukuran air yang keluar dari pipa yang bocor. Ketika saya masih bengong memikirkan hal itu, Cahyadi berkata “Eta mah Coban Rais, lain air mancur”. Saya seperti mendapat pencerahan, dan otak saya setuju dengan argumennya Cahyadi. Ya, itu memang air terjun. Kami udah sampai di Coban Rais!

coban rais batu
Air mancur kw

Nggak kerasa perjalanan hampir 1 jam dan kami nggak menyadari hal itu saking menikmatinya. Saat sampai disana, cuma ada sepasang orang pacaran. Sepertinya anak SMA yang lagi asyik selfie sana selfie situ. Sambil menunggu mereka pergi, kami mengambil gambar dari jarak agak jauh.

coban rais batu
Coban Rais

Setelah anak SMA itu pergi, baru kami mendekat ke air terjun. Hawanya seketika jadi dingin. Mungkin akibat ketinggiannya yang tembus 1000 mdpl, lalu lokasinya yang di tengah hutan yang tertutup pepohonan lebat. Sehingga lokasinya nggak kena hangatnya sinar matahari. Apalagi ketika menyentuh airnya, beuh.. udah kayak air es, air kulkas. Lebih dingin malah. Tapi tetep seger tentunya.

coban rais batu
Aslinya mah ini kedinginan

Nggak lama kami disitu, karena lama-kelamaan saya malah kedinginan. Lalu kami meninggalkan Coban Rais, tapi nggak langsung pulang. Di perjalanan turun, kami melihat ada petunjuk ke arah Coban Beji. Kami baru tahu kalau di kawasan Coban Rais ada Coban lain. Karena penasaran, kami putuskan untuk menuju kesana.

Medan menuju Coban Beji ini bisa dibilang mencurigakan. Kenapa? Karena jalannya nanjak terus kayak naik gunung. Dan nggak ada tanda-tanda air terjun kayak aliran sungai seperti yang kami temukan saat ke Coban Rais. Yang ada jalannya tambah menanjak dan hutannya semakin belantara. Tapi pada akhirnya terdengar suara aliran air yang deras seperti air terjun. Jalan pun mulai menurun.

Dan taraaa.. kami berhasil sampai di Coban Beji. Air terjunnya pendek tapi deras banget. Lokasinya emang tersembunyi gitu di balik pepohonan lebat. Sekelilingnya pohon semua dan tempatnya itu nggak luas.

coban rais batu
Coban Beji

Sebentar aja kami di Coban Beji, cuma foto-foto sebentar dan merasakan kesegaran airnya. Setelah itu kami meninggalkan Coban Beji. Lumayan, datang ke satu destinasi dapat bonus satu lainnya. Jadilah dua air terjun sekaligus.


0 comments:

Air Terjun Nyebur ke Laut, Banyu Anjlok

08:04 Ilham Firdaus 0 Comments

banyu anjlok malang

Traveling ke air terjun aja atau pantai doang mah biasa, gimana kalo langsung ke air terjun dan pantai di lokasi yang sama? Ada! Malang punya, Banyu Anjlok namanya. Air terjun ini langsung bermuara ke laut. Begitu tau ada tempat kayak gitu, saya penasaran pengen cepat melihatnya secara langsung. Saat itu juga saya nyari info lokasi Banyu Anjlok berada dan transportasi kesana serta mengagendakan perjalanan tersebut.

Setelah dapat info, Banyu Anjlok berada di desa Lenggoksono kecamatan Purwodadi Malang Selatan. Transportasi umum kesana nggak ada karena tempatnya yang jauh dari kota dan masih tergolong baru. Saya bersama 3 orang teman (Saipud, Cahyadi dan Yogi) berangkat menggunakan motor pada hari Jum'at.

Kami berangkat sekitar jam 3 sore, karena kami rencananya mau bermalam disana. Dari info yang saya dapat perjalanan kesana mengikuti arah ke Turen - Dampit - Purwodadi dan itu sekitar 3 jam, lumayan jauh. Benar saja, saat sampai di desa Lenggoksono waktu menunjukkan jam ½ 6 sore.

Tiba di Lenggoksono, kami nanya sama anak kecil, nggak kecil juga sih, anak SD lah. Kami bertanya arah ke Banyu Anjlok. Ada 2 cara untuk kesana, pertama dengan menyewa perahu dari pantai Lenggoksono, yang kedua menggunakan motor langsung ke sana.

Namun cara yang kedua nggak saya sarankan, karena jalannya yang sempit dan sisi sebelah kiri langsung menghadap jurang. Apalagi kalau hujan, jalan licin dan jadi sangat rawan. Cara kedua lebih aman kalau dilewati dengan trekking. Yah meskipun cukup jauh setidaknya aman dan itung-itung olahraga, sehat! Pemandangan di jalan juga keren, jadi pilih jalan kaki aja!

Saya tau begitu karena saat kesana, kami nggak tau kondisi medannya gimana. Kami menggunakan motor dan sumpah rasanya ngeri! Kalo jatuh nyawa bisa melayang. Nggak kebayang deh. Kami mengendarai motor sangat pelan, kadang harus turun dan jalan beberapa kali karena jalannya bikin ngeri.

Saat sampai di Banyu Anjlok hari udah gelap, kami mendirikan tenda di dekat sungai yang mengarah ke air terjun. Suara air terjunnya terdengar jelas banget di bawah dari posisi kami. Pasir pantai yang ada di sekitar air terjun hilang di telan pasangnya air laut malam itu.

Masak menjadi aktivitas selanjutnya untuk ngasih makan perut yang udah bunyi dari tadi. Lalu kami membuat api unggun kecil di dekat tenda. Ketika sedang asik mengobrol, tiba-tiba ada cahaya senter yang mendekati kami. Ada 2 orang "mas-mas", seorang membawa buku dan satunya lagi bawa golok! Duh jangan begal kami mas!
Setelah berbincang ternyata mereka bukan mau membegal kami, mereka adalah penjaga yang lagi ngecek di sekitar Banyu Anjlok apa ada wisatawan yang datang ke Banyu Anjlok atau nggak. Syukurlah!

Kami di kenai tiket masuk oleh mereka, karena seharusnya kalau ke Banyu Anjlok bayar HTM di TPI yang berada di dekat pantai Lenggoksono. Tapi karena kami nggak tau, jadi kami langsung bablas ke Banyu Anjlok.

Mas-mas yang bawa golok nanya, “Mas, nggak bawa pisau atau golok gitu?”.

Njir, ngapain dia nanya begitu. Beneran mau begal atau mau ngajak gelut. Saya tetap berpikir positif dan menjawab dengan jujur. “Nggak bawa, kenapa emang mas?”.

“Nanya aja, biar Banyu Anjlok ini tempatnya deket sama pemukiman, tapi disekitarnya masih hutan. Buat jaga-jaga aja kalau ada ular atau hewan berbahaya lainnya.”

Huft, dikira mau begal beneran. Taunya cuma ngasih saran gitu. “Oalah iya mas, semoga nggak ada apa-apa aja”. Jawab saya dengan positif thinking dikit. Meskipun sebelumnya mikir negative terus sama mas-masnya.

Kemudian mereka berdua pergi. Nggak lama dari itu rasa kantuk mulai menyerang. Kami putuskan untuk tidur malam itu.

Esoknya sekitar jam 3 dini hari saya kebangun gara-gara ada tetesan air, hujan turun dengan deras. Tenda kami bocor karena pemasangan pasak pada cover tenda yang kurang kencang bikin cover tenda jadi nempel pada inner tenda, alhasil air mrembes masuk ke dalam tenda. Seketika saya langsung mengencangkan pasaknya dan hasilnya lumayan meskipun di dalam udah terlanjut basah.

Kami akhirnya cuma bisa duduk-duduk di dalam tenda sambil menikmati hujan deras di kegelapan. Hujannya lumayan lama, ada lebih dari 1 jam. Setelah hujan benar-benar reda kami keluar tenda untuk mencari sunrise yang sudah muncul warna kemerahannya di gelapnya langit.

banyu anjlok malang
kami
(dari kiri: saya, cahyadi, yogi dan saipud)

Lalu kami turun ke pantai yang udah kelihatan pasirnya kali ini. Dan yang saya cari-cari akhirnya dapat saya saksikan langsung, air terjun yang bermuara langsung ke laut. Banyu Anjlok! Pemandangan yang luar biasa! Amazing!

Air terjun yang di sekitarnya hijau oleh pepohonan, di depannya beralaskan pasir putih dan pertemuan air tawar dengan air asin bukan dalam bentuk muara sungai, melainkan air terjun! Juga dihiasi oleh batu-batu karang yang besar serta di akhiri dengan mengalirnya air sungai ke laut lepas. Sungguh menakjubkan! Dimana lagi ada tempat kayak gini? Indonesia punya!

banyu anjlok malang
Sunrise

banyu anjlok malang
Pantainya

Bisa menikmati sunrise dengan air terjun dan pantai sekaligus merupakan pengalaman pertama saya! Double, air terjun dan pantai dalam satu lokasi. Unik!

Saat itu sepi banget, cuma ada kami berempat. Nggak tau emang masih pagi, jadi belum ada yang datang. Puas menikmati keindahan Banyu Anjlok, kami bersiap-siap untuk pulang.

Ketika berkemas, ada sepasang suami istri dan anaknya sedang menyiapkan dagangannya, mereka menjual makanan dan minuman. Sempat ngobrol sebentar, katanya kalau weekend di Banyu Anjlok banyak wisatawan yang datang.

Setelah packing, kami pulang melewati jalan kemarin yang mengerikan itu. Lebih hati-hati karena jalanan licin bekas hujan saat dini hari. Ternyata benar ketika perjalanan pulang kami banyak bertemu dengan rombongan yang menuju desa Lenggoksono, entah ke pantainya atau Banyu Anjlok.

Wisata ini cepat atau lambat pasti bakal ramai, dan dengan keindahannya yang awesome itu sebagai wisatawan harus tetap menjaga dan merawatnya agar bisa di nikmati oleh generasi selanjutnya. Tidak buang sampah sembarangan adalah satu hal kecil yang sangat bermanfaat bagi tempat wisata alam seperti ini. Jadilah wisatawan yang bertanggung jawab!


Thanks Banyu Anjlok!

banyu anjlok malang
kolam di atas air terjun

banyu anjlok malang
mandi di kolam berair tawar

banyu anjlok malang
turun tebing dulu

banyu anjlok malang
pantai dari atas air terjun

0 comments:

Menikmati Hujan Abadi Madakaripura

12:27 Ilham Firdaus 0 Comments

 air terjun madakaripura

Air Terjun Madakaripura adalah air terjun yang selalu ramai yang berada di Probolinggo. Madakaripura masih berada di kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru. Karena hal itu pula orang-orang yang berwisata ke Bromo biasanya sekalian berkunjung ke air terjun ini, khususnya yang lewat jalur Probolinggo. Bahkan kebanyakan trip organizer membuat trip Bromo – Madakaripura menjadi satu paket. Wisatawan yang datang ke Madakaripura bukan hanya local, tapi ada juga wisatawan mancanegara.

Air Terjun Madakaripura menjadi destinasi penutup dari long trip saya bersama Cahyadi. Hari sebelumnya kami bermalam di Pantai Papuma. Lalu esoknya jam ½ 7 pagi kami sudah meninggalkan Pantai Papuma. Untuk menuju Air Terjun Madakaripura saya nggak tahu arah jalan sama sekali, yang saya tahu itu berada di Probolinggo. Maka dari itu, dari Jember saya cuma mengikuti arah Probolinggo pada petunjuk yang ada di jalan.

Berkat hal itu dan dengan sesekali bertanya pada orang ketika hilang arah, kami bisa sampai di Probolinggo. Yah, itu kami lalui dengan tidak mudah. Berjam-jam duduk di jok motor itu tersiksa banget. Pantat kami tepos alias menipis. Apalagi Cahyadi, dia sambil gendong carier yang tentunya bikin bahu pegal abis.

Ketika sudah tiba di Probolinggo, saya bingung harus kemana. Untungnya Madakaripura ada di kawasan TNBTS, mengacu pada hal itu saya mengikuti petunjuk jalan yang mengarah ke Gunung Bromo. Suasana pegunungan mulai terasa lama-kelamaan, jalannya pun jadi menanjak. Kemudian kami sampai di sebuah pom bensin. Cahyadi meminta berhenti, dia merasa familiar dengan pom tersebut. Seingatnya, dia pernah kesitu saat pergi ke Gunung Bromo sebelumnya.

Dan ternyata kami emang bablas ke arah Bromo, Madakaripuranya kelewat. Emang bener sih, petunjuknya ke Bromo, ya arah ke Bromo. Masalahnya petunjuk ke Madakaripura yang sebelumnya ada, tiba-tiba nggak muncul lagi. Setelah nanya sama bapak-bapak, untuk ke Madakaripura kami harus putar balik dan turun lagi. Tapi, dengan jalan yang berbeda. Tuh kan! Ternyata emang bukan kami yang bablas, tapi emang beda jalan.

Setelah turun ke jalan yang ditunjukkan oleh bapak tadi, petunjuk ke Madakaripura mulai bermunculan. Tapi dari situ masih lumayan jauh. Kemudian kami sampai di lokasi parkir sekitar jam 12 siang. Suasananya rame banget. Kami putuskan langsung menuju air terjun tanpa istirahat. Seperti di Coban Sewu, saya titipkan carier di salah satu warung di sana.

air terjun madakaripura
Jalannya udah disemen

air terjun madakaripura
Jembatan Merah

Dari parkiran ke air terjun harus trekking lagi nggak lebih dari 1 jam. Itu termasuk nyantai dan udah keitung sambil foto-foto. Perjalanan diawali dengan melewati jalan semen yang disampingnya adala aliran sungai yang berasal dari Madakaripura sendiri. Sesekali kami menemukan jalan yang harus dihubungkan oleh jembatan. Di sepanjang jalan, ada beberapa warung yang menyediakan makanan dan minuman. Kalau capek bisa ngombe-ngombe sek sambil istirahat.

air terjun madakaripura
Salah satu warung

Lalu saat sampai di satu titik, banyak orang yang menjual jas hujan. Karena mulai dari situ akan melewati jalan yang kanan kirinya berupa tebing-tebing tinggi yang berlumut. Dan dari situ juga air berjatuhan dari atas tebing sehingga memberikan efek hujan abadi.

Untuk yang nggak mau pakaiannya basah, bisa membeli jas hujan yang di jual disana. Jas hujannya sendiri adalah jas hujan berbahan plastik kresek. Atau kalau nggak mau keluar uang, bisa membawa jas hujan sendiri. Kalau saya sih pilih basah-basahan, kapan lagi bisa menikmati guyuran air hujan abadi Madakaripura. Untuk menuju air terjun utamanya harus menaiki tebing batu dahulu. Baru setelah itu akan memasuki sebuah area yang konon katanya tempat pertapaan Patih Gajah Mada.

air terjun madakaripura
Menyegarkan diri

Disitu terdapat kolam yang bisa digunakan untuk berenang. Saya nggak nyemplung. Selain nggak bisa renang, saya kedinginan setelah kena guyuran air terjun sepanjang perjalanan. Banyak wisatawan yang menikmatinya dengan melompat dari tebing ke arah kolam. Sebenarnya saya pengen, tapi saya sadar diri. Dari pada membahayakan diri sendiri, saya pilih untuk nonton saja deh.

air terjun madakaripura
Hujan abadi

air terjun madakaripura
Air terjun utama

Kami nggak berlama-lama di area air terjun utama, karena hawa semakin lama semakin terasa dingin. Kami pun kembali ke area parkir. Setibanya disana, motor saya yang sebelumnya kotor, kucel banget. Secara ajaib menjadi kinclong. Ya, itu bukan rahasia umum lagi di Madakaripura. Anak-anak disana memang biasa mencuci kendaraan wisatawan ‘tanpa diminta’. Dan itu bukannya sukarela, saat pulang mereka akan meminta fee.

Orang-orang bilang sebenarnya anak-anak itu cuma menyiram kendaraan wisatawan, karena nggak ada perbedaan, nggak bersih-bersih amat. Tapi bagi saya nggak begitu, motor saya yang rupanya nggak jelas (kotor banget) menjadi bersih. Setidaknya itu pandangan saya. Jadi tips dari saya, kalau mau ke Madakaripura usahakan kendaraan kalian harus sekotor mungkin. Dari pada masih kinclong, di bawa kesana ya nggak ada perubahan. Hehe!

Kemudian sekitar jam 3 sore kami meninggalkan Madakaripura untuk kembali ke Malang. Air Terjun Madakaripura sukses menjadi penutup long trip kami dengan memberikan sensasi yang tidak biasa. Ini merupakan long trip pertama saya menggunakan sepeda motor. Dengan melewati beberapa kota dan mengunjungi 5 destinasi selama 3 hari, ini menjadi pengalaman yang menarik bagi saya. Saya puas dengan perjalanan ini. Dan semoga saya bisa melakukan perjalanan seperti ini lagi suatu hari nanti.

air terjun madakaripura
Patung Patih Gajah Mada

0 comments:

Mengantar Senja dan Menyambut Pagi di Papuma

06:20 Ilham Firdaus 0 Comments

tanjung papuma

Pantai Papuma merupakan salah satu pantai selatan yang sangat populer, khususnya di Jawa Timur. Keeksotisan pantai ini menjadi andalan pariwisata Kota Jember. Selain keindahannya yang tidak perlu diragukan lagi, yang membuat orang berbondong-bondong datang adalah mudahnya akses untuk menuju kesana dan fasilitasnya yang memadai.

Masih dalam long trip saya bersama Cahyadi yang berawal dari Coban Sewu, Pantai Wotgalih dan Pantai Puger. Kami melanjutkan perjalanan dari Pantai Puger menuju Pantai Papuma. Sebelum kesana, kami akan singgah dulu di Kota Jember. Kami akan meet up dengan teman saya yang berdomisili di Jember. Dia bukan asli Jember, dia sedang kuliah di salah satu perguruan tinggi di Jember. Namanya Nur.

Kami mau numpang reload amunisi kami yang sudah habis (baca: baterai kamera). Karena gawat kalau nggak di cas, saya nggak bisa bikin dokumentasi di destinasi selanjutnya. Kalau itu terjadi, nanti catatan perjalanan saya isinya cuma tulisan doang. Jadi nggak menarik, abis itu nggak ada yang baca. Kan bahaya banget.

Saya dan Nur udah membuat janji untuk ketemuan di depan kampusnya, dan kampusnya sendiri berada di kota. Kami nggak langsung menuju kesana. Saat itu udah dekat dengan waktu Shalat Jum’at, maka dari itu kami harus mencari masjid dahulu. Udah seharian lebih kami belum mandi. Karena mau shalat Jum’at, mau nggak mau kami harus mandi. Kalau nggak gitu sih nggak bakal mandi.

Saat ngisi bensin di pom, saya iseng-iseng ngecek toiletnya, eh taunya ada kamar mandi yang lumayan luas. Jadilah kami mandi di situ. Jarang-jarang pom bensin ada kamar mandinya, biasanya ya toilet aja gitu. Paling cuma bisa kencing sama boker. Lah ini ada bak mandinya segala.

Setelah mandi kami lanjut perjalanan lagi sambil nyari masjid. Saat mendengar adzan berkumandang, kami langsung merapat arah ke masjid yang sepertinya berada di pusat kota Jember. Ketika masuk ke dalam masjid rasanya adem, apalagi saat mengambil wudhu terasa seger banget. Berbanding terbalik dengan hawa di Kota Jember yang panasnya menyengat tubuh. Saya paling males sama hawa panas di kota. Bukan tanpa alasan, selama ini saya hidup di tempat yang bisa dibilang hawanya dingin. Dari kecil saya tinggal di kaki Gunung Ciremai yang berada di Kabupaten Kuningan. Dan sekarang saat kuliah, saya tinggal di Kota Malang yang udah terkenal hawanya dingin. Ya itulah alasannya saya nggak suka dengan hawa panas di kota.

Ba’da shalat Jum’at kami berangkat menuju meeting point, yaitu kampus UMJ. Dengan bantuan warga Jember alias tanya sana tanya sini, kami berhasil sampai di kampus UMJ. Langsung saja saya telpon si Nur suruh supaya cepet ke mepo, karena saya udah nggak kuat dengan panasnya Jember. Tapi dia nggak datang-datang, lama banget. Setelah di tunggu-tunggu sampai jenggotan akhirnya dia muncul bersama temannya menggunakan sepeda motor.

Kemudian kami digiring ke arah kostannya. Nggak jauh sih, nggak sampai 5 menit dari kampusnya. Lalu saya sampaikan tujuan kami yaitu numpang reload amunisi. Karena saat itu waktunya makan siang, kami diajak makan oleh Nur, dia juga mengajak teman kostnya yang lebih tua satu angkatan darinya. Mbak Wulan. Sebelum berangkat ke tempat makan, kami juga titip carier saya yang segede gaban itu.

Tempat makannya jauh gila, kami di bawa muter-muter kota Jember kayaknya. Padahal udah laper banget. Sambil makan, kami ngobrol-ngobrol. Nggak jelas ngomongin apa, random banget. Ngalor-ngidul lah pokoknya, saya nggak ingat. Yang saya ingat, saya ngajak mereka untuk ikut ke Papuma. Selain itu, mbak Wulan katanya udah sering kesana dan hapal jalan. Itu berkah banget untuk kami, jadi kami nggak perlu nyasar-nyasar dulu untuk menuju Papuma.

Sehabis makan kami kembali ke kostnya Nur. Namanya kost perempuan, ada tulisan “laki-laki di larang masuk” itu hal yang lazim. Maka dari itu kami hanya duduk-duduk di teras sambil ngobrol. Sedangkan mbak Wulan mau dandan dulu katanya. Kami nggak langsung berangkat ke Papuma, istirahat dulu sambil nunggu mbak Wulan selesai dandan, eh sambil nunggu baterai kamera penuh maksudnya.

Kemudian kami berangkat sekitar jam ½ 4 sore. Kami nggak khawatir kemalaman di jalan, karena dari Jember kota ke Pantai Papuma hanya memakan waktu sekitar 1 jam. Itu juga tanpa perlu nyasar. Dan pada kenyataannya kami sampai lebih cepat dari perkiraan. Hal itu tidak lain karena mbak Wulan nyetir motornya udah kayak pebalap moto GP, sumpah ngebut banget. Saya dan Cahyadi yang selama perjalanan selalu nyantai, paling mentok 70km/jam. Saat itu terpaksa menambah kecepatan karena harus mengimbangi kecepatan mbak Wulan. Kalau nggak, kami bakal ketinggalan jauh. Ada-ada aja emang.

Pantai Papuma emang udah populer banget, sebelum sampai di pintu masuk saja lalu-lalang wisatawan yang pulang/pergi banyak banget. Mana saat itu sedang long weekend, pas banget deh. Harga tiket masuk ke Pantai Papuma 15rb/orang dan 5rb untuk kendaraan roda dua. Dari pintu masuk masih terus lagi untuk sampai di pantainya. Nggak ada tempat parkir khusus, orang yang berwisata bebas parkir di sepanjang pantai. Karena pantainya sendiri memang panjang.

tanjung papuma
Ini si Nur sebelah saya

Suasana di Papuma ramai banget, di tiap titik pasti ada wisatawan. Mulai dari anak-anak sampai kakek-nenek ada. Fasilitas di Pantai Papuma lengkap. Kalau mau shalat, ada mushola. Mau makan, warung berjejer. Toilet juga banyak kalau mau kencing atau boker.

Kami mencari spot yang bagus untuk mengabadikan momen. Saat itu udah masuk waktu sunset, banyak wisatawan yang sedang mengabadikan proses terbenamnya matahari tenggelam. Kebanyakan fotografer pro, terlihat dari perlengkapan fotografinya. Mulai dari kamera tentunya, tripod dan berbagai macam lensa dan aksesoris kamera di ranselnya.

tanjung papuma
Para Fotografer Pro

tanjung papuma
Sunset

Saat matahari udah tenggelam dan hari semakin gelap. Nur dan mbak Wulan memutuskan untuk pulang. Saya ucapkan banyak makasih sama mereka karena udah mau direpotin hari itu. Makasih Nur, mbak Wulan! Sedangkan saya dan Cahyadi tetap tinggal di Papuma, karena kami akan bermalam di sana.

Lalu kami mencari lapak untuk mendirikan tenda. Saat sedang mencari lapak, kami di hampiri oleh seorang bapak-bapak. Dia bilang kalau di Papuma aman, tenang aja, sampai malam pun suasana tetap ramai karena warung-warung di sekitar ada yang buka 24 jam. Lalu dia menambahkan kalau malam itu giliran dia yang jaga jadi nggak perlu bayar lagi. Karena biasanya kalau sama orang lain bakal di tarik lagi untuk bermalam, katanya.

Setelah mencari-cari lapak yang tepat, akhirnya kami menemukan lapak dengan view yang cukup bagus. Kami mendirikan tenda tidak jauh dari batu karang menjulang yang menjadi ciri khas Pantai Papuma. Kemudian kami masak-masak dan makan. Kami iseng-iseng foto light painting yang nggak sempat kami coba saat di Wotgalih karena baterai kamera lowbat. Dengan ekspektasi ingin mendapat ribuan bintang lagi seperti di Wotgalih, kami tidur dulu dan bangun saat dinihari.

tanjung papuma
Papuma Light Painting

Jam 1 dinihari saya bangun, saya keluar tenda dan melihat ke arah langit. Tapi nggak banyak bintang yang saya lihat. Langit disana terlalu banyak terkena polusi cahaya, selain itu langit juga berawan. Saya kembali tidur dan bangun sejam kemudian dengan harapan kondisi akan membaik. Tapi nyatanya sama saja. Lalu saya tidur (lagi) dan jam 3 saya bangun (lagi). Tapi nggak ada perubahan, langit tidak secerah dan sebersih saat di Wotgalih.

Karena sudah terlanjur bangun dan nggak bisa tidur lagi, kami foto light painting lagi sembari menikmati malam di Papuma. Ketika akan tiba waktu sunrise, banyak wisatawan berdatangan. Ternyata mereka sedang berburu sunrise. Mau siang, mau malam atau sebelum matahari terbit Papuma selalu punya orang yang datang untuk berwisata.

tanjung papuma
Sunrise

tanjung papuma
Double Stick Martial Art

Ketika hari sudah terang, kami membongkar tenda dan bersiap untuk melanjutkan destinasi terakhir ke Air Terjun Madakaripura, Probolinggo.

tanjung papuma
Me and my bike!

0 comments:

Menyusuri Uniknya Jalur Pesisir Menuju Pantai Puger

20:34 Ilham Firdaus 0 Comments


Pantai Puger adalah salah satu pantai di Jember. Mungkin masih kalah terkenal dengan 'saudara'nya yaitu Pantai Papuma yang tersohor itu. Tapi Pantai Puger tak kalah eksotis jika dibandingkan dengan Papuma. Pantai Puger lebih dikenal sebagai tempat pelelangan ikan (TPI). Selain itu, di sana juga tiap tahunnya diselenggarakan Larung Sesaji. Kegiatan ini dilakukan sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan atas rezeki yang diberikan, terutama oleh nelayan Puger. Mereka membuang jauh nasi tumpeng ke laut sebagai simbol untuk harapan mereka.
Perjalanan menuju Pantai Puger ini merupakan hari kedua dari long trip saya bersama Cahyadi. Hari sebelumnya kami sudah mengunjungi Coban Sewu di Malang dan Pantai Wotgalih di Lumajang (tapi gagal ke pantainya). Berdasarkan referensi dari google maps, dari Pantai Wotgalih ke Pantai Puger ada 2 jalur. Pertama, jalurnya lewat kota dengan waktu tempuh 55 menit. Yang kedua adalah jalur pesisir dengan waktu tempuh 1 jam 15 menit. Ya, semua itu estimasi waktu dari google maps.
Kami sudah memikirkan segala kemungkinan dari 2 jalur tersebut. Kalau lewat jalur kota sebenarnya banyak keuntungannya. Akses jalan pasti mulus dan ada petunjuk meskipun nantinya kami nyasar gampang tinggal nanya orang. Selain itu masalah motor. Kalau motor kehabisan bensin ya ke pom, kalau ban bocor ya tambal, kalau mogok tinggal ke bengkel. Berbagai masalah mudah diatasi kalau lewat kota.
Sedangkan jalur pesisir ini kebalikannya dari jalur kota. Jalan belum tentu mulus dan pasti jarang ada petunjuk. Terus nyari orang untuk ditanya juga bakal susah. Apalagi urusan motor. Motor abis bensin, ban bocor atau mogok mau di bawa kemana? Yang ada harus kami dorong sampai Jember. Nggak kebayang kalau hal itu terjadi bakal gimana nantinya.
Setelah mempertimbangkan semua kemungkinannya, akhirnya kami putuskan untuk memilih jalur.. ya kalian semua sudah tau jawabannya. Kami pilih opsi kedua, jalur pesisir. Kami ambil semua resiko yang bakal terjadi kalau lewat pesisir. Saya yakin itu nggak bakal terjadi, karena saya berpikir positif dan bawa enjoy aja perjalanannya. Alasan lain adalah karena saya penasaran dengan jalur pesisir. Saya ingin tahu apa yang bisa saya temui saat melewatinya. Karena kalau lewat kota udah sering, ya gitu-gitu aja.
½ 7 pagi kami sudah meninggalkan Wotgalih. Keluar dari gerbang bertuliskan Pantai Wotgalih, kami langsung ambil arah kanan (arah ke Jember). Kami nggak lewat jalan saat kami berangkat (ke Wotgalih). Perjalanan kami diawali dengan melewati ladang-ladang milik warga. Udara pagi itu segar sekali. Ditambah jauh dari kota, berkali-kali lipat sejuknya. Dan jalannya lumayanlah, nggak mulus sih, tapi nggak rusak juga kok.
Baru beberapa menit berlalu kami udah nyasar. Berawal dari sebuah pertigaan, kami memilih lurus karena jalannya lebih lebar jika dibandingkan dengan yang belok. Karena saya pikir jalan yang lebar adalah jalan utamanya. Awalnya saya PD aja. Sampai saya melihat sebuah jembatan besar yang arahnya berbeda dengan jalan yang kami lewati, saya mulai ragu. Saya bertanya pada Cahyadi yakin apa nggak dengan jalan yang kami lewati. Dia juga ragu. Kami ingin bertanya arah jalan, tapi kami nggak nemu orang satu pun.
Sambil nyari orang untuk ditanya, kami tetap terus dengan jalan yang kami lewati. Tapi lama-kelamaan jalan yang kami lewati ini rasa-rasanya mengarah ke laut, terdengar dari suara ombak yang semakin keras. Sebelum berangkat, saya menjadikan matahari sebagai patokan ke arah Jember. Karena matahari terbit di timur, dan Jember posisinya sebelah timur Lumajang. Maka saya tetapkan arah ke Jember dengan mengikuti Matahari.
Nah berdasarkan hal itu saya jadi semakin ragu. Alasannya, jalan yang kami lewati ini menuju ke arah selatan. Dan TIDAK bisa ke arah timur. Kenapa? Karena ke arah timur terpisah oleh muara yang lebar. Dari situ saya baru sadar fungsi jembatan besar yang saya lihat, untuk menyebrangi muara. Lalu saya yakin kalau jalan yang bener adalah dengan melewati jembatan karena searah dengan matahari.
Kami putar balik dan harus kembali ke pertigaan sebelumnya. Tapi sebelum sampai di pertigaan, saya melihat ada orang naik motor melewati jalan sempit di samping sawah dan langsung nyambung ke jembatan. Saya pikir itu ide bagus dan kami ikuti orang itu. Akhirnya kami tiba di jembatan yang menyebrangi muara. Kami istirahat sebentar sambil memotret kondisi jembatan dan muaranya.
jembatan pelintas muara lumajang
Muaranya lebar

jembatan pelintas muara lumajang
Bisa di pake foto juga

jembatan pelintas muara lumajang
Jembatannya besar dan mulus

Kemudian kami lanjutkan lagi perjalanannya. Mulai dari situ, kondisi jalan mulus banget. Saya bisa saja menambah kecepatan sampai kisaran 80-100 km/jam, tapi kecepatan maksimal saya cuma sampai 60 km/jam. Alasannya simple, pemandangannya keren, udaranya seger. Saya nggak mau terburu-buru melewati suasana seperti itu.
Seperti yang saya pikirkan sebelumnya, saya penasaran dengan apa yang akan saya temui dengan melewati jalur pesisir. Setelah menyebrangi muara, kami menemui hal-hal unik yang tidak akan kami temui kalau kami lewat kota. Mulai dari jalanan yang sepi pol, deretan pohon bakau (mangrove), hingga gurun berpasir hitam khas pantai-pantai di Lumajang. Bahkan saat melihat gurun dengan pasir hitam, kami turun untuk mengabadikan momen sesaat.
jalanan sepi lumajang
Jalanan sepi pol

gurun berpasir hitam lumajang
Gurun Pasir Hitam

Setelah beberapa lama, jalan yang mulus banget itu seketika habis. Berganti menjadi batu-batu kerikil berpasir. Jalan jadi jelek banget, kecepatan motor pun saya kurangi jadi nggak lebih dari 40 km/jam. Lalu ada satu tempat dimana jalan di depan kami ini amblas. Kami terpaksa keluar jalur dan melewati pasir. Pasirnya lumayan dalam, ditambah jalannya agak menanjak membuat Cahyadi harus turun dan mendorong motor.
Dengan medan yang semakin lama semakin di luar perkiraan, saya agak khawatir kalau ban motor bakal bocor. Apalagi setelah melewati jembatan yang menyebrangi muara udah nggak ada lagi pemukiman warga. Hanya ada alam dan kami. Lalu masalah bensin, udah mendekati huruf ‘E’. Sejak berangkat dari Wotgalih kami belum mengisi bensin lagi. Alasannya karena sepanjang jalan nggak ada yang jual. Jangankan bensin, orang dan pemukiman aja nggak ada. Pokoknya, pikiran-pikiran negatif menjalar. Tapi mau gimana lagi, saya nikmati saja perjalanannya.
Hingga akhirnya kami mulai melihat ada satu-dua rumah. Lama-kelamaan semakin banyak dan saat melewati sebuah sekolah (seingat saya SMP), ada tulisan PUGER disana. Ya, kami udah sampai di Puger! Kami di Jember! Sepanjang jalan itu saya melihat ada pantai dan perahu-perahu nelayan. Karena kami udah di Puger tapi nggak tau dimana Pantai Puger yang menjadi tempat wisatanya, kami bertanya pada warga. Ternyata, pantainya masih harus terus lagi.
Daaan tak lama dari situ, kami akhirnya tiba di Pantai Puger!
pantai puger jember
Nyantai dulu

pantai puger jember
Ombaknya lumayan

Pantainya sepi, entah karena masih pagi ataupun emang suasananya begitu. Warung-warung disekitar pantai juga masih pada tutup. Nggak kayak pantai-pantai di Lumajang yang pasirnya hitam, di Pantai Puger berpasir putih. Di kejauhan, terlihat Pulau Nusa Barong yang samar-samar. Di Pantai Puger dilarang untuk berenang karena ombaknya yang cukup besar. Kami hanya memandangi pantai dengan diterpa sejuknya angin laut. Itu sudah membuat saya nyaman berada di pantai. Kami juga sesekali bermain air di pinggir pantai.
Sebentar saja kami di Pantai Puger. Sekitar jam ½ 11 kami lanjut menuju Kota Jember.

pantai puger jember
Suasananya nyaman buat tidur

0 comments: