Pendakian Gunung Lawu #2: Perjalanan Menuju Warung Mbok Yem

20:22 Ilham Firdaus 2 Comments

warung mbok yem lawu

“Siapa yang masak di warung saya? Kalau mau masak di tenda sendiri saja jangan di sini! KELUAR!!!”, itu yang saya dengar saat baru aja makan satu suap mie. Seisi warung seketika kaget mendengarnya. Ternyata dia adalah bapak sang empunya warung. Hanya ada 2 rombongan yang sedang masak saat itu. Kami dan rombongan pendaki di samping kami. Dari pada urusannya jadi makin panjang, kami langsung beres-beres alat masak dan packing. Sedikit demi sedikit para pendaki keluar dari warung bapak itu.

“Hampura pak, kalau bisa pasang tenda mah kami juga nggak bakal masak di warungnya bapak. Tapi di luar badai pak, yang ada tenda kami udah basah duluan sebelum berdiri. Percuma. Toh warung bapak juga tutup, nggak ada barang-barangnya. Terus kami mau pesan apa? Bapak nggak kasihan melihat pendaki pada kedinginan setelah kena badai? Warungnya digunakan sebentar untuk menghangatkan tubuh sampai hujan reda boleh lah ya. Itung-itung amal, bapak sebagai yang punya tempat juga dapat pahala. Iya kan, Pak?” Begitu kata saya, tapi dalam hati. :v

Kami kemudian bergegas mencari lapak. Di langit yang mulai gelap dan gerimis yang terus menerpa, kami memasang tenda meski tubuh sudah kedinginan. Menggelar tenda, menyambungkan frame, mengikat tali hingga memasang pasak kami lakukan dengan cepat. Begitu tenda sudah terpasang dengan baik, kami masuk satu per satu. Dan.. aaah hawa di dalam tenda tak sedingin di luar. Apalagi kami duduk berdempetan membuat hawa panas terperangkap. Lumayan laah.

Mie goreng berkuah yang sebelumnya udah dimasak, kami santap dengan lahap. Tak ada aktivitas lain lagi setelah itu. Kondisi tubuh yang sudah lelah, plus hujan yang belum reda membuat kami tak melakukan apapun selain tarik sleeping bag. Meski posisi tidur nggak nyaman, saya tetap paksakan untuk tidur. Biar awalnya cuma merem doang, tapi akhirnya bisa molor juga. :D

warung mbok yem lawu
Banyak pendaki yang numpang tidur di warung

Tapi nggak lama. Sekitar jam 12 malam, saya kebangun karena Eko dan Idang grasak-grusuk. Mau lanjut tidur nggak bisa. Jadilah saya masak air buat bikin energen. Lalu dilanjut masak mie dan menggoreng tempe bosoknya Eko. Iya beneran bosok (busuk) lho. Edisi kelaparan tengah malam. Saat yang lain lanjut tidur, saya keluar tenda. Dinginnya bukan main, jari-jari kaki dan tangan seperti mati rasa. Meski hujan udah reda, ternyata langit masih berawan. Bintang yang terlihat pun hanya sedikit. Sebaliknya, lampu-lampu kota menyala terang. Sambil berkeliling pos 5, saya masuk ke salah satu warung untuk ngopi. Ternyata, masih ada beberapa pendaki yang baru tiba. Padahal saat itu sudah menunjukkan jam 2 dini hari. Nggak ada teman begadang, saya memutuskan untuk kembali tidur.

Paginya saya terbangun oleh keriuhan para pendaki di luar tenda. Warna kemerahan di langit mulai terlihat di ufuk timur. Namun, matahari belum naik. Saya keluar mencari udara pagi yang kemudian disusul oleh Rahman dan Eko. Sedangkan Idang dan Brian masih pingsan. Ketika sunrise sudah lewat, beberapa pendaki ada yang langsung melanjutkan perjalanan ke puncak. Sementara kami memilih leyeh-leyeh dulu. Selain belum sarapan, kami akan ke puncak sambil membawa seluruh logistik. Karena kami akan turun lewat jalur Cemara Kandang.

Sunrise dari pos 5

gunung lawu
Makan indomie goreng berkuah :v

Perjalanan diawali dengan turunnya kabut yang membuat suhu menjadi dingin. Tapi kabutnya cuma lewat doang. Setelah itu langit cerah. Panorama sepanjang jalan ke puncak pun terlihat sangat indah. Trek berupa susunan batu akhirnya berakhir saat memasuki Sendang Drajat, yaitu pos yang terdapat sumber mata airnya. Setelah itu trek berganti menjadi tanah. Saat itu juga Eko bisa bernafas lega. Dia bilang, dia paling malas dengan trek berbatu gitu. Padahal kalau menurut saya sih itu wenak :D

gunung lawu
Pagi yang berkabut

sendang drajat gunung lawu
Sendang Drajat

Sekitar 1 jam kemudian kami tiba di Hargo Dumilah alias Puncak Lawu! Uyee! Ada tugu setinggi 5 meter di puncaknya. Sudah banyak pendaki yang tiba duluan. Dan sedang mengantriii untuk gantian berfoto di depan tugu dengan tulisan “Alhamdulillah Puncak Lawu 3265 mdpl”. Dari puncak, terlihat juga Telaga Kuning. Saya baru tahu kalau di Lawu ada telaga saat melihat peta di pos perizinan. Penasaran sih pengen turun ke sana. Tapi mengingat kami harus cepat turun, yah lain kesempatan aja deh ya.

gunung lawu
Jalan setapak menuju puncak… yang belum kelihatan

telaga kuning gunung lawu
Telaga Kuning

hargo dumilah gunung lawu
Puncak Lawu / Hargo Dumilah

Nggak lama kami di puncak. Yah 30 menit paling. Karena kami udah pengen ke Warung Mbok Yem. Apalagi kalau bukan makan di warung tertinggi di Gunung Lawu? Pecelnya itu lho udah ngebet banget dari sehari sebelumnya. Apalagi si Eko. Eh, nyatanya saat pesan pecel. Ngantrinya rameee. Entah bakal kebagian kapan. Sampai-sampai ditawarin soto. Dari pada lama nunggu doang, mau nggak mau kami pesan soto. Udah lapar juga. Dan ketika siaaap, yang datang bukanlah soto. Malah lebih mirip nasi dikasih kuah bening plus daging. Heuheu.. yasudahlah, disyukuri saja nikmat yang diberikan. Toh, digunung mah makanan apa aja jadi terasa enak. Apalagi yang udah enak, jadinya enak kuadrat. Hehehe!

warung mbok yem lawu
Nyarap dulu bosque

Yah meski pecelnya nggak keturutan, seenggaknya kami udah makan di retoran ternama di Gunung Lawu. Warung tertinggi di dunia lho! Eh iya nggak sih? Iya aja deh ya. Letaknya yang dekatnya dengan puncak, pas banget dijadikan tempat transit. Apalagi dalam kondisi capek. Tiduran bentar di warung, eh malah keterusan. Malah tidur beneran. Mantap deh pokoknya.

Memang sih, selain ke puncak hargo dumilah, para pendaki naik ke Lawu itu tujuannya pengen ke warung Mbok Yem. Pada penasaran sama pecelnya. Termasuk juga saya. Makanya saya tulis judul postingan ini dengan “perjalanan menuju warung mbok yem”. Hehehe!

hargo dumilah gunung lawu
Bonus Edelweiss :))


hargo dumilah gunung lawu
Bonus lagi :p

2 comments:

Pendakian Gunung Lawu #1: Naik Tangganya Cemoro Sewu

21:35 Ilham Firdaus 0 Comments

gunung lawu hargo dumilah

Lama nggak naik gunung bikin saya rindu rasanya berada diketinggian. Berdiri lebih tinggi dari awan. Dinginnya malam di gunung. Hangatnya sinar matahari saat terbit di pagi hari. Nikmatnya merebahkan badan setelah seharian mendaki. Dan masih banyak lagi. Setahun lebih saya nggak ndaki. Terakhir kali saat ke Papandayan Agustus 2015 lalu. Sebenarnya saya naik gunung sih, ke Gunung Panderman dan Gunung Mahawu di Tomohon. Tapi keduanya itu ditempuh sekitar 2 jam perjalanan. Sedangkan saya merindukan pendakian yang bisa menghabiskan waktu agak lama di gunung. Sampai beberapa ari gitu. Maklum, belakangan ini saya lebih sering main ke pantai atau tempat wisata lainnya. *ciee anak pantai

Finally, 1 – 2 Oktober kemarin saya baru saja mendaki Gunung Lawu. Yang bertepatan dengan tanggal 1 Suro. Ya, saya sendiri baru sadar kalau waktu itu 1 suro saat sudah turun. Berangkat dari Terminal Arjosari Malang, saya bersama Idang, Rahman dan Eko menuju Surabaya sekitar jam setengah 10 malam. Rencana menumpak bus ekonomi gagal karena yang tersisa hanya bus patas (IDR 25K). Bukannya kenapa, budget sudah kami hitung secara terperinci. Kalau diawal aja nggak sesuai rencana, seterusnya budget bakal membengkak. Maklum mahasiswa, duit untuk jalan-jalan aja harus ngirit pengeluaran buat makan dulu. Heuheu..

Perjalanan ke Surabaya nggak itu kerasa. Sekali merem, pas buka mata tau-tau udah sampai aja di Terminal Bungurasih. Ajaib! Kalau malam emang cepat, nggak sampai 2 jam bisa lho. Di terminal, kami bertemu dengan teman Eko yang juga akan ikut mendaki bersama kami. Brian namanya. Badannya kecil, tapi cariernya buesar. Isinya 4 botol air mineral ukuran 1.5 L. Jago! Saya mah males. Paling banyak aja 2 botol + plus 1 botol yang 600 mL. Soalnya kan ada sumber air. Kalau naik gunung yang nggak ada sumber airnya, nah itu lain lagi ceritanya. Saya bawa kompan sudah!

Perjalanan kami lanjut lagi naik bus ekonomi Jurusan Yogyakarta yang mampir di Terminal Maospati (Magetan) seharga Rp 30K/orang. Formasi kursinya 2 – 3, dan itu pun sudah hampir penuh. Jadi tinggal kebagian sisanya aja. Alhasil kami duduk berpencar. Perjalanan ke Magetan pun saya lalui dengan tidur. Sempat kebangun beberapa kali akibat guncangan karena supirnya ugal-ugalan. Gilak!

gunung lawu cemoro sewu
Noh, jarak Cemoro Sewu ke kota-kota

4 jam kemudian kami sampai di Terminal Maospati. Untuk menuju pos perizinan dari info kami dapat sebelumnya adalah naik bus / angkot jurusan Tawangmangu, dan itu adanya jam 5 pagi. Jadi mau nggak mau kami harus menunggu di terminal. Tapi fakta berkata lain. Begitu turun dari bus, kami langsung dihampiri bapak-bapak yang menawari untuk mencarter mobilnya dengan harga Rp 35K/orang. Harga segitu menyesuaikan berdasarkan jumlah orangnya. Saat itu kami bertujuh (ada 2 orang pendaki lain yang join dari Surabaya). Sedangkan kalau hanya 5 orang kebawah, harganya bisa 40K atau lebih.

gunung lawu cemoro sewu
Tiba saat sunrise!

Tiba di Cemoro Sewu, 2 pendaki yang join itu turun. Sedangkan kami lanjut ke Cemara Kandang. Saya dibikin bingung saat bapak sopirnya bilang ke Cemara Kandang jaraknya jauh, sekitar 30 km. Padahal setau saya nggak sampai 1 km. Dan ternyata benar, kami dibohongi. Nggak sampai 1 menit, kami sampai di Cemoro Kandang. Hhm, sa ae si bapak iki. Saat turun, kami berpikiran sama. Suasana di Cemara Kandang kok sepi banget, mana gelap. Seketika kami setuju untuk balik ke Cemoro Sewu. Kami diketawain saat bertemu dengan pendaki yang dari Surabaya. “Lho, kenapa balik lagi kesini mas?” katanya sambil nyengir-nyengir. “Cemara Kandang tempatnya gelap mas, meragukan”, jawab saya. Hahaha!

Begitu pos perizinan buka, kami langsung registrasi. Harga tiket masuknya Rp 15K/orang. Sebelum mulai mendaki, tentunya kami isi perut dulu. Supaya nggak loyo ketika mendaki. Betul betul betul?

gunung lawu cemoro sewu
masak-masaaak!

gunung lawu cemoro sewu
Pintu Gerbang Cemoro Sewu

Perjalanan diawali dengan melewati trek berupa bebatuan yang disusun sedemikian rupa. Treknya mirip seperti Arjuna – Welirang via Tretes. Bedanya kalau ini lebih sempit. Batunya juga berukuran lebih kecil dan kadang susunannya seperti membentuk tangga. Wajar sih, kalau di Tretes digunakan sebagai jalur untuk Jeep pengangkut belerang. Di sebelah kanan kirinya dikelilingi hutan cemara. Yah sesuai nama jalurnya, Cemoro Sewu (Seribu Pohon Cemara)

Sampai Pos 1, Wesen-wesen, medannya relatif tertutup oleh pohon-pohon cemara yang tinggi. Namun selepas itu, vegetasinya mulai terbuka. Pendakian kali ini kami mendaki selow banget. Jalan nyantai banget, sering ambil break. Bukan, bukan fisik melemah karena jarang naik gunung lagi. Tapi karena kami ingin lebih menikmati perjalanan. Naik gunung itu santai aja. Ngapain juga buru-buru. Puncaknya nggak kemana-mana kok. Selagi mendaki mending lihat pemandangannya, bercanda sama teman sependakian. Percayalah, naik gunung itu bukan cuma soal puncak. Menikmati perjalanannya itu lebih berkesan.

gunung lawu cemoro sewu
Berangkat!

gunung lawu cemoro sewu
Pos 1 Wesen-wesen

Lawu via Cemoro Sewu ini ada keuntungannya untuk yang nggak mau banyak-banyak bawa logistik atau nggak punya tenda. Dari 5 pos sepanjang jalur pendakian, 3 diantaranya terdapat warung-warung yang menjual makanan sekaligus bisa untuk menumpang tidur. Warung yang paling terkenal adalah Warung Mbok Yem. Karena dia adalah orang pertama yang mempunyai ide untuk membuka warung di Gunung Lawu. Letaknya malah berada di Hargo Dalem, yang hanya butuh beberapa menit saja untuk ke Hargo Dumilah (Puncak Lawu). Hanya pos 3 dan 4 saja yang nggak ada warungnya. Buat yang pengen buka usaha. Mumpung kosong, bikin aja warung di pos 3 atau 4!

Jalur Lawu ini mengingatkan saya ketika mendaki Arjuna. Selain treknya yang mirip, puncaknya juga nggak kelihatan. Dari bawah terlihat sebuah dataran yang kalau dibandingkan dengan yang lain, itu adalah yang paling tinggi. Tapi saat mendaki dan berhasil sampai ke titik itu. Eh, ternyata ada lagi yang lebih tinggi. Dan begitu seterusnya sampai beberapa kali. Diphp-in. Padahal dari pos 2 sampai pos 4 jalannya tangga lho. Tangga yang terbuat dari susunan batu. Apalagi saat mendekati pos 4, emh itu anak tangganya tinggi-tinggi. Joss banget. Huhu..

gunung lawu cemoro sewu
Bener kan naik tangga...

gunung lawu cemoro sewu
Tanjakan yang tiada akhirnya

Mulai dari pos 3, cuaca mulai nggak bersahabat. Kabut tebal perlahan mulai turun. Otomatis jarak pandang pun menipis. Beberapa kali air turun dari langit. Hujan? Bukan! Itu hanya sugesti kalau kata Eko. Yah, memang benar. Air turun bersamaan dengan kabut. Ketika kabut sudah lewat, ya udah berhenti. Tapi saat tiba di pos 4. Langit udah gelap banget. “Ini mah mau hujan”, pikir saya dalam hati. Saya langsung mengajak yang lain untuk mengenakan mantel.

Selagi berjalan menuju pos 5. Langit yang tadinya cuma gerimis, tiba-tiba aja hujan deras disertai oleh GULUDUG. Petir! Noh kan turun. Untung kami udah sedia mantel sebelum hujan. Saya heran saat melihat pendaki yang menjadikan matras untuk melindunginya dari hujan. Apalagi yang hujan-hujanan. Mereka pikir ini di pekarangan rumah, bisa hujan-hujanan gitu. Ini gunung, gan! Mana ketinggiannya udah nyentuh 3000an mdpl. Kalau kehujanan nanti bajunya basah, terus kedinginan. Bisa-bisa hypothermia. Kalau udah gitu mau gimana? Saya nggak habis pikir, mereka naik gunung persiapannya apa sih? Udah tau mulai masuk musim hujan. Tapi nggak ada antisipasi kalau di lapangan bakal hujan. Geleng-geleng kepala deh saya lihat pendaki yang kayak gitu.

gunung lawu cemoro sewu
When the rain falls, i turn become dementor :v

Lama-kelamaan hujan semakin deras. Mungkin bisa dibilang badai. Sampai di pos 5, kami langsung berlindung masuk ke warung yang kondisinya kosong. Yang punya nggak ada, barang-barangnya juga nggak ada. Dari pada ngeluarin uang demi membeli semangkuk indomie kuah hangat di warung sebelah, kami memilih memasak sendiri di dalam warung kosong tersebut. Kondisi warung semakin padat saat rombongan pendaki lain mulai berdatangan. Beberapa pendaki ikut merapat pada kami demi secuil kehangatan dari api kompor.

Ketika mie sudah siap, baru saja satu suap, tiba-tiba terdengar suara teriakan bernada marah dari dekat pintu. “Siapa yang masak di warung saya? Kalau mau masak di tenda sendiri saja jangan di sini! KELUAR!!!”

gunung lawu cemoro sewu
Kambing aja naikgunung, embeee

0 comments:

Mencari Pelangi Hingga ke Ujung Bukit Merisik

13:11 Ilham Firdaus 2 Comments

bukit merisik tanjung aan


Di ujung Bukit Merisik, kami tak mampu berdiri. Angin bertiup sangat kencang membuat nyali kami ciut. Bukannya kenapa, saya takut diterbangkan ke laut oleh angin. Mana ombaknya besar sampai-sampai suaranya begitu berisik. Kami tak lama berada disitu, padahal pemandangan dari atas bukit itu sungguh cantik. Bahkan, sempat muncul samar-samar pelangi pada gulungan ombak.

Ini adalah jalan-jalan terakhir saya selama 2 bulan di Lombok. Traveling yang terpaksa saya lakukan akibat “kompor”nya Gumilang meledug. Saya sampai bela-belain bolos magang. Perjalanan ini dilakukan karena Gumilang nggak puas saat ke Batu Payung. Kali ini kami berencana untuk ngecamp di Tanjung Aan. Karena saya nggak sempat untuk menyewa alat camp, saya kasih Gumilang kontak tempat penyewaannya. Tapi ketika berangkat, saat dia datang ke kos untuk menjemput saya, ternyata dia belum menyewa alat. Mana udah jam 10 malam. Penyewaannya juga paling udah tutup. Soalnya ini Lombok cuy, jam 9 aja jalanan udah sepi. Alhasil kami hanya berharap disana ada “beruga” sebagai tempat kami numpang tidur.

Dari Mataram kami berangkat jam 10 malam menuju Tanjung Aan. Jalanan udah seperti punya sendiri, sunyi senyap. Untungnya jalan di Lombok sebagian besar udah di hotmix, sehingga kami bisa gaspol sepanjang perjalanan. Yah, meski motor vario putih sewaan Gumilang hanya bisa melaju mentok di kecepatan 80km/jam. Memasuki Kuta Pantai Lombok, suasana mulai agak ramai oleh bule-bule yang sedang asyik party di bar. Biasa kehidupan malam bule kan begitu. Sebenernya pengen mampir, tapi karena mata udah 5 watt, nggak jadi deh.

bukit merisik tanjung aan


Kami terus memacu motor hingga tiba diTanjung Aan. Sepi banget, nggak ada orang. Udah nggak ada kehidupan. Warga lokal nggak ada, wisatawan apalagi. Yakali siapa juga yang mau traveling malam-malam begini? Kecuali kami yang emang rada gelo. Setelah memarkir motor, lalu kami mencari beruga untuk lapak kami tidur. Tapi nggak ada! Untungnya ada beberapa kursi panjang yang agak lebar, dan ada atap yang terbuat dari rumbia. Tak ada pilihan, kami menjadikan itu sebagai singgasana untuk semalam.

bukit merisik tanjung aan
Tempat bobo

Kursi yang terbuat dari kayu itu saya lapisi dengan ponco supaya tidak lembab. Gumilang malah memakai ponconya untuk dipakai tidur. Meski begitu, kami bisa tidur cukup pulas. Hingga pada saat menjelang subuh, saya mendengar entah suara apa tepat di depan saya. Karena kondisi gelap gulita, saya kembali memejamkan mata. Tapi baru saja mencoba untuk tidur, tiba-tiba terdengar suara gonggongan anjing yang sangat keras. Bukan cuma 1, mungkin ada sekitar 10 ekor anjing. Saya refleks waspada dengan mengambil batu. Lalu saya bangunkan Gumilang. Dia pun kaget tiba-tiba bisa ada anjing sebanyak itu. Penasaran dengan posisi anjingnya dimana, saya menyalakan flash smartphone dan mulai menyenteri sekitar. Saya terkejut ketika ada seekor anjing dengan tubuh lumayan besar sedang tertidur beberapa meter di depan kami. Ternyata suara yang dari tadi saya dengar adalah suara anjing ini. Tapi dia tidak menggonggong. Dia hanya diam seolah menjaga atau menandai bahwa ada orang asing di wilayah mereka.

Semakin lama, anjing-anjing lainnya semakin sering menggonggong seolah memperingati kami. Saya jadi kepikiran, ada nggak ya anjing yang makan orang? Saat situasi semakin mencekam, tiba-tiba saja anjing-anjing tersebut berlarian menjauh ke suatu arah. Seperti ada yang memanggilnya. Mungkin dipanggil majikan mereka. Melihat ada kesempatan kabur, kami buru-buru meninggalkan tempat itu dan harus rela tidur kami berakhir. Saat mulai beranjak, saya baru sadar bahwa anjing yang sedari tadi menjaga kami tidak ikut pergi bersama anjing-anjing lainnya. Untungnya anjing yang satu ini tidak menggonggong atau mengejar kami. Huft.. bobo cantik yaa anying.

Kemudian kami langsung mendaki Bukit Merisik. Warna merah yang samar-samar mulai nampak di langit yang masih gelap. Kami terduduk dan terpukau saat menengadah ke langit. Langit begitu bersih dan penuh oleh taburan bintang. Sambil menunggu sunrise, saya ambil posisi selonjoran dan diiringi dengan alunan musik.

bukit merisik tanjung aan
Taburan bintang

Setelah langit mulai terang, saya baru menyadari kalau Bukit Merisik ini panjang banget. Saya mendaki belum seperempatnya. Ujung bukitnya malah nggak kelihatan. Udah jauh-jauh pergi dan digonggongi anjing pula, sayang banget kan kalau nggak berjalan-jalan sampai ke ujung bukit. Mumpung masih pagi, masih semangat. Udara segar. Sinar matahari juga lagi sehat-sehatnya.

bukit merisik tanjung aan
Golden Sunrise

Pemandangannya benar-benar memanjakan mata. Bukit yang berundak-undak seperti punuk unta terhampar di depan saya menanti untuk didaki. Pantai-pantai berjejer di sebelah barat dan timur. Sedangkan, di selatan adalah lautan samudra yang sangat luas. Saat mendekati ujung bukit, terdapat sebuah pantai kecil yang terlihat sangat cantik dari atas bukit. Wow, I’m speechless with that view! Susah untuk digambarkan dengan kata-kata. Rasanya seperti nge-fly ketika melihat indahnya ciptaan Tuhan ini.

bukit merisik tanjung aan
Bukit Merisik
bukit merisik tanjung aan

Pantai Berisik *saya yg namain :p

Lalu kami turun ke pantai kecil tak bernama tersebut. Pasirnya putih dan sangat halus seperti bedak bayi. Asyik rasanya leyeh-leyeh tiduran disana. Pantainya bersih, meski ada sedikit sampah yang sepertinya terbawa oleh ombak. Saya menamai pantai ini dengan Pantai Berisik. Ombaknya yang besar membuat suara-suara yang gaduh. Apalagi saat ombak menghantam batu karang. Wusssh.. airnya terlempar ke udara dan menjadi waterblow. Keren! Tapi jangan coba-coba mendekat kalau nggak mau ketarik ombaknya.

bukit merisik tanjung aan
Tuh ombaknya dueresss

bukit merisik tanjung aan
Ombak sama awan gak ada bedanya

Kami nggak bisa berlama-lama disana. Kami akan lanjut ke ujung bukit dan pulang ke Mataram setelahnya. Dari pantai, hanya perlu mendaki sekitar 5 menit untuk sampai ke ujung bukit. Ada sensasi yang berbeda saat berdiri disana, merinding takut jatuh! Ya, anginnya kuencaaang. Saya sadar kalau saya krempeng, jadi takut terbawa angin. Alhasil saya menikmati sejenak pemandangannya sambil terduduk. Dan tiba-tiba saja.. Pelangi! Saya melihat pelangi. Bukan pelangi yang muncul setelah hujan, karena saat itu nggak hujan. Tapi pelangi yang muncul pada gulungan ombak. Unik! Pelangi itu muncul setiap kali ombak bergulung. Sungguh moment yang langka. Sayangnya saya nggak bisa mengabadikannya pada lensa kamera. Maklum, kamera nggak mendukung.

bukit merisik tanjung aan
Yeay! At the end of Merisik Hill

Di punggungan bukit di sisi lainnya, saya melihat gerombolan anjing (yang menggonggongi kami sebelumnya) sedang berlarian mengejar kera! Sepertinya anjing-anjing itu sedang menjadikan kera sebagai mangsanya. Huft.. saya jadi lega saat mengingat kejadian digonggongi anjing waktu subuh. Ternyata anjing emang nggak makan orang, tapi makan monyet. Hehehe..

Sebelum pulang ke Mataram, kami sempat bertemu dengan teman Gumilang di Tanjung Aan. Untuk sekedar mengobrol dan mencicipi Kopi Lombok. Entah apa bedanya Kopi Lombok dengan kopi-kopi lainnya. Lidah saya bukanlah lidah penikmat kopi. Lidah saya hanya bisa merasakan 2 rasa. Enak dan enak banget. Itu saja. Hehe!

bukit merisik tanjung aan
Kopi Lombok

bukit merisik tanjung aan
Bonus, Si Anying

2 comments: