Ketika Harus Bermalam di Tempat Umum

15:00 Ilham Firdaus 0 Comments



Musholla Bandara Soehat (sumber foto disini)

Saat sedang traveling, kadang ada suatu momen yang mengharuskan saya untuk menginap di tempat umum. Bagi saya yang gaya travelingnya menganut aliran backpacking, tidur di tempat umum itu adalah pilihan mutlak daripada harus menginap di hotel. Apalagi kalau hanya singgah beberapa jam saja. Momen seperti ini bisa terjadi akibat mengejar jadwal keberangkatan pesawat yang super pagi, tiba di terminal larut malam sedangkan kumpulnya pagi atau karena emang nggak punya duit alias berhemat :)) Ya, semua itu sudah pernah saya alami.

Menginap di Mushola Bandara Soehat

bandara soekarno hatta
Waiting Room Bandara Soehat

Tidur di bandara pernah saya alami saat akan berangkat ke Manado dalam acara super journey challenge. Jadwal keberangkatan pesawat jam 5 pagi. Sebenarnya banyak saudara di Jakarta, tapi daripada harus menginap di rumah saudara ya mending di bandara aja. Begitu pikir saya. Soalnya jarak dari rumah saudara ke bandara lumayan jauh. Belum lagi harus bangun pagi demi mengejar jadwal.

Sebelumnya saya udah riset di internet. Dari catper pada blog yang saya baca, udah banyak yang pernah bermalam di Bandara Soekarno-Hatta. Kebanyakan bilangnya tidur di kursi tunggu. Karena saat malam hari, apalagi di atas jam 12, nggak banyak orang yang seliweran di bandara. Sehingga satu jejer kursi bisa digunakan untuk tidur dengan posisi selonjoran. Tapi itu pengalaman blogger yang pernah mencobanya, kalau saya lain lagi ceritanya. Saya mah tidur di mushola. Bukan di dalam musholanya, tapi dapat lapak di dekat penitipan barang yang masih satu area mushola. Kebetulan saat itu saya melaksanakan shalat isya. Awalnya saya di dalam mushola, dan sepertinya nyaman tidur di situ. Namun karena nggak ada orang yang tidur dan itu tempat ibadah kan yah, jadi saya urungkan niat tersebut. Saat mau ke ruang tunggu, saya melihat ada beberapa orang tidur lesehan beralas karpet di dekat penitipan barang, tepatnya sebelum tempat wudhu. Mereka tidur di pinggiran dekat tembok. Karena itu sebenarnya digunakan sebagai jalan untuk berwudhu, saya duduk di kursi tidak jauh dari situ. Menunggu, berharap salah satu dari mereka pergi. Meski agak lama akhirnya satu orang pergi dan lapaknya saya amankan.

Walaupun cuma beralas karpet, lumayanlah dapat lapak untuk selonjoran. Kemudian saya pun tertidur di situ hingga 1 jam sebelum subuh. Dan tahukah apa yang terjadi saat saya mau cuci muka dan melewati depan pintu mushola? Di dalam mushola penuh oleh orang yang tidur, udah kek ikan pindang!

Ngemper di Stasiun Banyuwangi

Stasiun BWI Baru (sumber foto disini)

Yang namanya stasiun itu nggak seluas bandara, apalagi stasiun yang khusus digunakan untuk kereta ekonomi dan nggak berada di kota besar. Tidur di stasiun nggak segampang di bandara. Tapi tiga kali sudah saya mengalaminya. Dua kali di stasiun Banyuwangi Baru dan sekali di stasiun Karang Asem, masih di Banyuwangi juga.

Di Banyuwangi Baru, dua-duanya terjadi saat pulang dari Bali dan Lombok. Untuk yang pernah backpacking ke Bali / Lombok lewat jalur darat pasti paham. Kereta dari Banyuwangi ke Malang cuma ada satu dan itu berangkat jam 5 pagi. Kalau ke Surabaya banyak sih, tapi yang kelas ekonomi cuma satu dan berangkat pagi juga. Nggak beda jauh. Boro-boro mau naik yang kelas bisnis / eksekutif, wong tidur aja ngemper di stasiun. Nah balik lagi, akibat jadwal keretanya yang berangkat pagi banget, mau nggak mau saya harus udah standby di stasiun malam harinya. Stasiun yang nggak jauh dari Pelabuhan Ketapang ini untungya punya teras yang cukup luas. So, bisa dimanfaatin banget tuh daripada harus sewa penginapan. Toh, saya aja sampai dua kali ngemper di situ. Dan yang membahagiakan, di situ banyak yang bermalam juga. Rame. Jadi nggak perlu khawatir ada begal. Lol.

stasiun karang asem
Stasiun Karang Asem

Kalau di Stasiun Karang Asem saat mengikuti Bootcamp Aksa 7 Kawah Ilalang. Nggak beda jauh sih. Ketika itu saya mengejar waktu meeting point jam 7 pagi. Kereta dari Malang cuma satu, itu pun sampai di Karang Asem jam 11 malam. Mau nggak mau harus ngemper lagi kan. Tapi di Karang Asem ini terasnya nggak seperti di Banyuwangi Baru, terasnya sempit. Malah bisa dibilang nggak ada terasnya. Keuntungan yang dipunya Karang Asem adalah keberadaan Rumah Singgah Banyuwangi yang dimiliki oleh Mas Rahmat. Free untuk para pejalan, monggo. Rumahnya juga dekat dari stasiun. Namun, saat itu saya nggak bermalam di sana karena suatu hal. Saya malah tidur di teras salah satu warung di depan stasiun, di kursi-kursinya gitu. Lumayanlah meski banyak nyamuk!

Bermalam di Terminal Guntur

Terminal Guntur (sumber foto disini)

Dibandingkan dengan stasiun dan bandara, menginap di terminal mungkin yang paling saya hindari. Tahu sendiri kan kondisi terminal-terminal di Indonesia seperti apa? Mau ngelapak dimana coba? Terminal Purabaya (Surabaya) dan Terminal Tirtonadi (Solo) pengecualian, ruang tunggunya bisa digunakan sebagai lapak untuk tidur. Kalau terminal lainnya saya nggak menjamin. Meski menghindarinya, tapi saya pernah karena tak ada pilihan lagi.

Ketika itu saya mau mendaki Gunung Papandayan. Dari Kuningan saya berangkat sendiri ke Garut via Bandung. Meeting point di Terminal Guntur dan waktunya saat Subuh. Oleh karena itu, saya berangkat dari rumah H-1. Niatnya dari Bandung mau berangkat agak malam, biar sampai di terminal pas waktu meponya, karena teman-teman saya berangkat dari Jakarta. Tapi apa daya, saya malah berangkat dari Bandung ba’da Isya. Bukan apa-apa, kalau kemalaman khawatir nggak ada angkutan. Hal itu saya simpulkan sendiri tanpa nanya-nanya dulu. Heu.

Udah berangkatnya terlalu sore, sampai di Terminal Guntur cepat banget. Padahal saya berharap perjalanannya lama, supaya nunggu di terminalnya sebentar. Tapi ekspektasi tak berbanding lurus dengan realita. Jam 10 malam saya udah sampai di terminal, itu pun pakai acara di bangunin kernet. Gara-gara ketiduran dan tujuan akhir elf bukan di Terminal Guntur. Untung sebelumnya udah ngomong turun di sana, nyaris aja saya bablas entah kemana.

Turun dari Elf, saya bingung mau kemana. Kondisi terminal sepi dan gelap. Lalu saya mencari mushola untuk melaksanakan shalat isya. Dan ternyata di mushola sudah ada dua orang bapak-bapak yang tergeletak tidur. Beres shalat, saya ikutan tidur deh di mushola.

Terdampar di Alun-Alun Batu

alun-alun batu
Alun-alun Batu

Ini kejadiannya adalah saat saya kursus Bahasa Inggris di Pare. Saat memasuki weekend kursus libur, beberapa teman saya minta diantar untuk main ke Malang. Tapi akibat berangkat terlalu malam, kami nggak turun di Terminal Landung Sari, melainkan di Batu. Selain karena angkot di Malang nggak beroperasi 24 jam, teman saya juga pengen main ke Batu.

Di alun-alun Batu kami mampir nyicip kuliner legendaris, yaitu Pos Ketan. Lapak kami menikmati ketan itu di teras ruko-ruko yang udah tutup. Di situ pula kami ngelapak untuk bermalam dengan hanya beralas keramik. Meski udah pakai jaket dan kaos kaki, tapi udara di Batu emang dingin banget. Apalagi udah lewat jam 12. Dinginnya keramik juga berkontribusi memperkeruh suasana. Untungnya di sana kami nggak lama. Beberapa teman saya lainnya (beda rombongan) juga sedang berada di Batu. Mereka menyewa villa dan kami diajak tidur di sana. Meski hanya beberapa jam, malam-malam tidur outdoor di Batu nggak mau lagi deh. Uaademm!


Itulah beberapa pengalaman saya bermalam di tempat umum. Banyak nggak enaknya sih, tapi nyaman di dompet. Untuk pejalan yang menganut aliran backpacking sih meski nggak nyaman, asal hemat di dompet ya dijalanin. Yang penting bisa jalan-jalan! Hohoho!

0 comments:

Melihat Tradisi Suku Sasak di Desa Sade, Kawin Culik!

21:42 Ilham Firdaus 0 Comments


suku sasak desa sade


Ketika berada di Lombok, saya nggak melulu traveling ke wisata alam seperti pantai, pulau, air terjun dan bukit. Mendekati berakhirnya masa PKL, saya berkunjung ke Desa Sade, desa yang masih memegang erat budaya adat suku sasak. Sekali-kali wisata budaya dan juga pengen beli tenunnya sebagai kenang-kenangan khas Lombok.

Desa Sade berada di Lombok Tengah. Kalau dari Mataram bisa ditempuh menggunakan kendaraan pribadi sekitar 1 jam perjalanan santai atau 30 menit perjalanan nggak nyantai alias ngebut. Anyway, di Lombok ini jalannya mulus dan lebar. Dan yang saya suka, jalannya sepi… banget. Jarang-jarang ada orang yang pergi ke Lombok Tengah kalau bukan orang asli sana. Ya paling orang yang mau ke bandara atau main ke pantai. Bandara Internasional Lombok (BIL), Pantai Kuta Lombok, Tanjung Aan dan Desa Sade itu jalannya searah. Meski begitu jalanan tetap sepi. Ada plang petunjuk arahnya juga, jadi nggak perlu bingung. Karena di Lombok susah kalau naik kendaraan umum.

Sebelum pergi ke TKP, saya sudah melakukan riset dulu tentang Desa Sade. Informasi yang saya dapat dari blognya orang, kalau ke Desa Sade itu ketika parkir kendaraan biasanya ada orang asli Desa Sade yang menghampiri untuk menawarkan jasa guide lokal. Yang tarifnya luar biasa banget, seikhlasnya. Mau kasih berapa pun mereka terima. Tapi ya nggak kasih 500 atau 1000 juga. Meski mereka bilangnya “Mau kasih 2000 juga nggak apa-apa, Mas”. Tapi masa mau kasih segitu, berilah jumlah yang sewajarnya. Toh, mereka udah mengajak berkeliling desa sambil menceritakan sejarah dan budayanya.

Nah, ketika kami kesana ternyata nggak ada orang lokal yang menghampiri kami. Saat itu sedang ada study tour dari salah satu sekolah di Mataram. Mungkin orang lokal Desa Sade sedang sibuk memandu para siswa yang buaaanyak itu. Kami masuk ke komplek desa dan bingung mau ngapain. Bisa aja sih keliling desa tanpa guide. Tapi ngapain, nggak bakal tau apa pun tentang suku sasak. Lalu saya inisiatif bertanya ke orang-orang yang saya prediksikan itu warga lokal (pakai sarung).
“Permisi mas, masnya warga asli Desa Sade?” tanya saya.
“Iya mas, masnya butuh guide?” dia bertanya balik.
“Iya mas buat nemenin keliling desa.”, jawab saya.

suku sasak desa sade
Bareng Mas Jauhari

Kami berkenalan terlebih dahulu. Guide yang menemani kami masih muda, namanya Jauhari. Sebelum berkeliling, Mas Jauhari bercerita sedikit tentang suku sasak dan tradisinya. Salah satunya Kawin Culik. Yang pengen nyulik anak orang lalu dinikahin, datang aja ke Desa Sade. Legal! Tapi ada aturan mainnya. Perempuan yang akan dinikahkan oleh seorang lelaki harus dilarikan / diculik dulu ke rumah keluarga dari pihak laki-lakinya. Namun gadis tersebut nggak perlu memberitahukan kedua orang tuanya. Proses penculikan biasanya dengan membawa teman sebagai saksi dan dilakukan di malam hari. Karena kalau siang hari dikhawatirkan proses penculikan gagal ditengah jalan karena bisa diketahui orang banyak seperti kedua orang tua perempuan atau laki-laki lain yang menginginkan gadis tersebut a.k.a rival.

suku sasak desa sade
Mas Jauhari lagi cerita

Setelah sehari menginap, pihak laki-laki mengirim utusan ke pihak keluarga perempuan sebagai pemberitahuan bahwa anak gadisnya telah diculik. ‘Nyelabar’, istilah bahas setempat untuk pemberitahuan itu. Dilakukan oleh pihak laki-laki, tetapi orang tua pihak laki-laki tidak diperbolehkan ikut. Rombongan nyelabar terdiri dari 5 orang dan wajib mengenakan pakaian adat. Rombongan terlebih dahulu meminta izin pada Kliang (tetua adat) sebagai bentuk penghormatan kepada Kliang. Kemudian rombongan datang ke rumah pihak perempuan dan menyampaikan pemberitahuan. Setelah itu baru bisa menggelar proses pernikahan. So, gimana ada yang tertarik dengan tradisi ini? Monggo datang ke Desa Sade! Hehehe!

suku sasak desa sade
Kain tenun dengan motif menggambarkan Kawin Culik

Setelah bercerita tentang Kawin Culik, Mas Jauhari mengajak kami berkeliling melihat rumah adat mereka. Suku sasak Desa Sade adalah salah satu desa yang tetap menggunakan rumah adatnya sebagai tempat tinggal dan tak tertarik untuk membangun rumah modern. Rumah adat Suku Sasak ada 2 bagian, yaitu Bale Tani dan Lumbung. Bale Tani digunakan sebagai tempat tinggal, sedangkan Lumbung berfungsi sebagai tempat menyimpan hasil pertanian. Bale Tani terbuat dari kayu dengan dinding dari anyaman bambu. Atapnya berasal dari alang-alang kering. Yang unik adalah bagian lantainya yang berasal dari campuran tanah, getah pohon, abu jerami serta kotoran kerbau. Ya, kotoran kerbau. Jangan berpikir kalau rumah mereka jadi bau. Karena kotoran kerbau tersebut tentu sudah mengering dimana bakeri penyebab baunya sudah mati saat dijemur matahari. Kotoran kerbau ini sangat berguna untuk mencegah kelembapan tanah dan juga menjaga agar suhu udara dalam rumah tetap dingin. Hhm, alami banget kan yah rumahnya...

suku sasak desa sade
Lumbung tempat menyimpan hasil tani

suku sasak desa sade
Mejeng depan masjid warga Desa Sade

suku sasak desa sade
Katanya banyak yang foto-foto di spot ini

Warga suku sasak sebagian besar bermatapencaharian sebagai petani untuk laki-laki. Sedangkan para wanita masyarakat suku sasak pekerjaannya adalah penenun. Tapi Mas Jauhari bilang kalau sekarang ada juga yang bekerja sebagai TKI ke luar negeri. Setiap perempuan suku sasak akan dikatakan dewasa dan siap berumah tangga kalau sudah pandai menenun. Mereka menenun menggunakan alat tradisional. Berbagai hasil tenunan mereka dijadikan karya seperti taplak meja, kain sarung, kain songket, selendang, dan lain-lain.

Di depan rumahnya mereka menjajakan kain tenunnya untuk dijual. Harga yang mereka patok di sana itu jauh lebih murah dibandingkan kain tenun yang dijual di toko-toko di Kota Mataram. Jadi, kalau main ke sana belilah 1 atau 2 kain. Selain sebagai oleh-oleh / kenang-kenangan, itung-itung juga untuk membantu perekonomian warga lokal Desa Sade. Kalau mau, mereka juga menawari untuk mencoba menenun. Mereka akan mengajari caranya dengan baik.

suku sasak desa sade
Nyari gelang

suku sasak desa sade
Proses menenun

Sebelum pulang, kami mampir ke salah satu rumah untuk membeli kain tenun berupa syal. Lumayan 100ribu dapat 3 biji. Selain kain tenun, mereka juga menjual aksesoris seperti gelang, kalung, kaos , dan lain-lain. Setelah puas berkeliling, kami berpamitan dengan Mas Jauhari.

Jujur, selama ini saya jarang banget berwisata budaya kek gini. Biasanya ya wisata alam. Saat ke Desa Sade saya sadar, kalau Indonesia itu bukan alamnya saja yang kaya. Tapi budayanya juga. Bayangkan, dari Sabang sampai Merauke ada berapa suku yang menghuni negara ini. Dengan sejarahnya masing-masing, tradisi dan bahasa tiap daerahnya yang berbeda-beda tentu membuktikan kalau Indonesia itu kaya! Meski begitu, semuanya tetap satu, satu INDONESIA.


suku sasak desa sade
Monggo dipilih

0 comments: